Aku mengetuk pintu kamar apartemen Niall sebanyak tiga kali, setelah sebelumnya aku menekan beberapa kali bel kamarnya. Aku menyilangkan kedua tanganku di dada, menunggu Niall membukakan pintunya. Aku memencet kembali bel nya beberapa kali, namun Niall tidak kunjung membukakan pintunya. Ugh kemana anak itu?
"Apa yang sedang kau lakukan disini gadis kecil?"
Aku terlonjak kaget ketika seseorang berbicara di belakangku, aku memutar tubuhku dan menemukan Niall berdiri tepat di belakangku, aku memukul pelan lengan Niall "Kau mengejutkanku blonde"
"Apa yang sedang kau lakukan disini malam-malam? Seharusnya kau pulang lalu tidur" Niall berjalan melewatiku kemudian memasukkan kunci kedalam lubangnya dan membuka pintu kamar apartemennya.
"Aku malas pulang" jawabku seraya berjalan membuntuti Niall "Mama sedang pergi berkencan, dan pasti akan sangat membosankan jika aku berdiam diri didalam rumah, jadi lebih baik aku—"
"Menggangguku disini, bukankah begitu?" potong Niall memutar tubuhnya dan menutup pintunya kembali.
"Kau selalu berprasangka buruk padaku Tuan Horan" aku berjalan menghampiri sofa, melepas tas kecilku ke atas meja dan mendaratkan bokongku pada sofa tersebut.
Sofa ini menjadi saksi bisu dari cerita sehari-hari yang sudah aku lewati bersama Niall, aku dan Niall bersahabat hampir dua tahun, dan selama itu pula setiap hari aku pasti mengunjungi apartemen Niall dan menghabiskan waktu diatas sofa ini.
Aku dan Niall saling mengenal ketika pertama mendaftar di sebuah universitas swasta di kotaku ini, Niall berasal dari Irlandia dan tidak cukup mengenal siapapun disini. Dan aku menawarkan diriku untuk menjadi temannya, jujur saja aku sudah tersihir oleh sorot matanya yang biru itu disaat kami baru pertama kali bertemu.
Kini aku dan Niall sudah berada di semester 5, dan selama ini Niall selalu menyamakan jadwalnya denganku, jadilah aku dan Niall selalu melakukan aktivitas bersama dua tahun terakhir ini. Niall tinggal sendirian di sebuah apartemen, karena dia tidak mau tinggal di asrama. Sedangkan aku tinggal bersama Mama dirumah, ya aku hanya tinggal bersama Mamaku karena Papaku sudah meninggal ketika aku berumur 10 tahun.
Dan sekarang aku senang karena Mama mulai mau membuka hatinya untuk Pria lain, belum lama ini mama sedang berkencan dengan seorang Pria yang identitasnya masih dirahasiakan oleh Mama. Mama bilang, jika Mama sudah memantapkan pilihannya dia akan mengenalkannya padaku. Aku tidak sabar akan memiliki lagi seorang Papa, aku harap pilihan Mama itu tepat.
Niall kembali dari arah dapur dengan dua kaleng coke dan beberapa bungkus snack ringan di tangannya, dia meletakkan snack di atas meja di hadapanku. Dia mengambil posisi duduk di sebelahku dan memberikan sekaleng coke padaku. Aku mendorong coke itu kembali pada Niall dan dia tersenyum mengerti.
"Umurmu sudah hampir dua puluh tahun satu tahun dan kau masih tidak bisa membuka kaleng coke? Begitu mengkhawatirkan Nasch" ledek Niall padaku, dia membukakan kaleng coke milikku. Tapi bukannya menyerahkan pada tanganku, malahan Niall menyodorkan kaleng coke itu pada bibirku dan memaksa mulutku untuk terbuka menerima sodorannya.
Aku berusaha untuk menolak, namun Niall semakin mendorong kaleng coke itu hingga isi di dalamnya menyentuh bibirku. Mau tidak mau aku membuka mulutku dan mengalir lah isi kaleng tersebut kedalam mulutku tanpa seiziniku terlebih dahulu. Aku mendorong tangan Niall dan menumpahkan sedikit coke nya pada bajuku. Aku terbatuk-batuk, sedangkan Niall menertawakan ekspresiku.
Ya Tuhan aku rela terbatuk-batuk seperti ini, asalkan Niall tertawa bahagia seperti itu. Oke abaikan pemikiran berlebihanku. Aku belum berhenti terbatuk, kali ini Niall menghentikan tawanya kemudian berdiri dan berlari kearah dapur.
Dadaku terasa nyeri dan hidungku terasa sakit karena soda itu menyeruak masuk begitu saja tadi. Niall kembali dari dapur sambil menyerahkan segelas air putih. Pelan-pelan aku meneguknya, dan batuk-batukku akhirnya dapat di hentikan.
Aku menaruh gelas tersebut diatas meja, dan berusaha mengatur nafasku. Niall menyentuh lenganku dan menatap khawatir padaku "Apa kau baik-baik saja?"
Bukannya menjawab, tapi aku malah mencapit hidung Niall dan menarikknya ke atas. Niall mengaduh kesakitan, kemudian aku melepaskannya dan menatap tajam padanya "Kau mencoba untuk membunuhku?" tanyaku.
"Aku hanya bercanda, tidak terpikir olehku bahwa kau akan terbatuk-batuk seperti tadi" jawab Niall menampakkan rasa bersalahnya.
"Hidungku terasa seperti tersengat lebah" aku mengusap-ngusap hidungku yang terasa aneh gara-gara aku tersedak coke tadi.
"Apa soda itu masuk kedalam hidungmu?" tanya Niall memiringkan kepalanya sedikit sambil terus menatapku dengan tatapan bersalahnya.
"Ya, sepertinya disaat aku terbatuk tadi—"
APA ITU? YA TUHAN BOLEHKAH AKU BERTERIAK SAAT INI JUGA? AKU TIDAK BISA BERGERAK, BERKEDIP PUN SULIT, BERNAFAS PUN AKU LUPA CARANYA.
"Better?"
Aku mengangguk perlahan terpatah-patah, dengan mata membelak aku masih tidak percaya apa yang baru saja terjadi.
"Apa kau tidak akan balik mencium hidungku seperti kemarin aku mencium pipimu balik ketika kau mencium pipiku?"