✘ Six

1.6K 192 27
                                    

Niall berhasil memaksaku untuk tidak pulang malam ini, jadilah dengan terpaksa aku akan menginap disini, malam ini. Sejujurnya aku tidak begitu menginginkan hal seperti ini, karena ini hanya akan menimbulkan musibah untukku. Selain untuk kesehatan jantungku, dan untuk hal yang lainnya.

Sebenarnya aku memiliki pemikiran bahwa aku akan kabur ketika Niall sudah tidur nanti, namun kuakui hal tersebut tidak akan berhasil. Mengingat jam tidur Niall itu lebih malam daripada aku.

Aku masih terduduk di atas closet dan menghayalkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi malam ini. Pertama, malam ini akan terasa biasa karena aku masuk ke kamar Niall kemudian tidur dan begitu pula dengan Niall yang duduk di atas sofa dan menonton televisi sampai ketiduran. Atau kemungkinan kemungkinan kedua, Niall akan mengajakku mengobrol sebelum tidur, atau kemungkinan ketiga—

"Julie sedang apa kau di dalam sana? Apa kau tertidur?" suara Niall membuyarkan semua lamunan, aku mendengus kesal karena ulah Niall barusan membuat dadaku sedikit bergemuruh, kaget.

Aku menunduk dan kembali meperhatikan apa yang aku pakai saat ini. Aku memakai kaos Niall, karena tadi ke kampus aku menggunakan kemeja. Jadi tidak akan mungkin jika aku akan tidur mengenakan kemeja. Dan untuk celana, aku mengenakan celana pendek yang aku pakai di balik celana jeansku sebelumnya. Aku bangkit lalu membuka pintu, dan menemukan Niall sedang berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Lama sekali" protes Niall menampakkan wajah berpura-pura kesalnya.

"Berlebihan sekali kau ini" ucapku seraya mencapit hidung Niall yang mancung itu. Aku berusaha untuk tidak terlihat canggung di hadapannya.

Niall menepuk tanganku yang mencapit hidungnya "Jauhkan tanganmu dari puncak hidungku, Julie"

Aku terkekeh pelan, sejurus kemudian Niall membalas perlakuanku dengan mencapit ujung hidungku juga. Aku mengaduh kesakitan, sementara Niall terus mencapitnya. Sudah bisa dipastikan bahwa ujung hidungku pasti akan berubah menjadi merah.

"Niall lepaskan" teriakku ketika Niall mengangkat hidungku dan aku hampir kehabisan nafas.

Niall tertawa keras kemudian melepaskan capitannya dan langsung masuk kedalam kamar mandi.

"Ugh Niall!" teriakku sebal. Bukannya meminta maaf, namun Niall malah terus terawa dari dalam kamar mandi.

Aku beringsut ke atas kasur Niall sambil memainkan ponselku, Mama mengirimku sebuah pesan dan bertanya apakah aku sudah sampai di rumah atau belum, dan aku menjawab jika aku sudah berada di rumah, jelas aku berbohong pada Mama.

Suara shower dari dalam kamar mandi tiba-tiba berhenti, dan keluarlah Niall dari dalam kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek setengah paha tanpa mengenakan baju. Susah payah aku menelan ludahku dan berusaha untuk mengalihkan perhatianku, namun sialnya mataku tidak dapat beralih dari dada telanjang Niall.

"Apakah badanku sudah sama seperti para model cover majalah?"

Pertanyaan Niall berhasil membuatku berkedip dan mengalihkan pandanganku, namun sialnya aku merasa jadi salah tingkah "Hmm? Apa? Majalah?" tanyaku tidak terlalu menangkap apa pertanyaannya tadi.

Niall terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan menghampiriku "Apa kau menyukainya?" tanya Niall membuat mataku menjereng lebar.

Aku menggeleng ragu dan berusaha untuk bersikap normal, namun aku gagal. Niall semakin dekat dan merangkak naik ke atas kasur kemudian duduk bersila di hadapanku. Mata birunya menatapku intens dan membuatku tidak dapat berkutik sedikitpun.

Niall melayangkan tangannya pada tengkuknya kemudian mengusapnya perlahan, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Niall melakukan hal tersebut jika dia sedang merasa gugup. Dan sulit di percaya jika dia sedang merasa gugup di hadapanku.

"Umm Julie" panggilnya.

Aku mengangkat kedua alisku sebagai sahutan dan menatap manik matanya lebih dalam. Ya Tuhan aku menjadi sangat gugup sekarang. Jantungku berdebar karena Niall tidak mengalihkan pandangannya sama sekali.

"Apa kau tidak merasa ada sesuatu yang aneh?" tanya Niall berhasil membuatku mengerutkan keningku.

"Aneh? Apa maksudmu?"

"Aneh—maksudku sikapku, apakah terlihat aneh belakangan ini?"

Aku terdiam masih menatapnya, ku akui akhir-akhir ini sikap Niall sedikit lebih canggung dan salah tingkah, begitu pula aku.

"Maafkan aku" lirih Niall.

Kini Niall menundukkan kepalanya, sedangkan aku menatap rambut pirangnya yang acak-acakan di hadapanku. Apa maksudnya? Aku tidak mengerti.

"Aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya padamu, karena aku takut merusak persahabatan yang sudah kita jalin selama ini" Niall masih menunduk dan enggan menatapku.

"Apa maksudmu Niall? Aku tidak mengerti" tanyaku.

Niall mengangkat kepalanya dan kembali menatapku "Maafkan aku Julie, maafkan aku. Aku tidak mau persahabatan ini hancur hanya karena aku mulai mencintai seseorang"

Hatiku mencelos begitu mendengar pernyataan Niall, aku berusaha mencari sebuah kebohongan pada tatapannya. Namun aku tidak menemukan setitik kebohongan dari dalam sana.

"Aku tidak mengerti mengapa perasaan ini tumbuh begitu saja, aku ingin menolaknya namun aku tidak bisa"

Mataku mulai panas, dan dadaku mulai mengeluarkan percikan api yang bisa membakarnya kapan saja. Siapa Gadis beruntung yang Niall maksud? Aku sangat tidak ingin mendengar jika dia mengatakan nama 'Victoria'.

Aku tersenyum miris dihadapan Niall dan berusaha untuk tidak menjatuhkan air mataku di hadapannya "Yeah beruntung sekali Gadis tersebut, siapakah dia?"

Sejujurnya aku tidak ingin mendengar jawaban apapun darinya, karena aku yakin bahwa Gadis yang di maksud bukanlah diriku. Hancur sudah semua tempat yang sudah kubangun dengan rapih untuknya disini, di dalam hatiku.

"Dia Victoria"







DilemmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang