Cukup lama aku terdiam, tidak menjawab pertanyaan Niall. Karena sesungguhnya aku tidak tahu harus menjawab seperti apa atas pertanyaan yang Niall lontarkan. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan dengan senyum canggung yang cukup lebar.
"Kau terlihat sangat bodoh, Julie" gumam Niall, mengacak rambutku dan memutar kepalanya menjadi menghadap pada televisi, meraih remot di atas meja dan menyalakan televisinya.
Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara televisi dan deru nafas kami masing-masing. Terang saja aku masih begitu terkejut atas perlakuannya tadi, semakin lama Niall semakin berani melakukan hal tersebut padaku. Apa sekarang aku boleh berpendapat jika Niall memiliki perasaan yang sama seperti perasaanku padanya? Aku hanya takut jika apa yang dilakukan Niall itu hanyalah semata-mata untuk menghiburku atau dia memang berpikir bahwa yang dia lakukan hanyalah hal wajar antara dua orang sahabat. Tapi aku selalu menganggapnya menjadi hal lain, karena ya kau pasti tahu alasannya mengapa.
"Darimana kau tadi? Aku tidak melihatmu setelah dari toilet kampus" tanyaku berusaha memecahkan keheningan panjang yang telah terjadi. Aku tahu bahwa aku sangat gugup sekarang, tapi aku berusaha untuk menetralkan suasana. Walaupun sebenarnya keadaanku pun sangat mengerikan, detak jantung yang berpacu dengan cepat dan nafas yang cukup memburu.
"Victoria terjatuh di hadapanku dan kakinya terkilir, jadilah aku mengantarnya menuju dorm nya terlebih dahulu" jawab Niall tanpa melepas pandangannya dari layar televisi datar itu.
Victoria? Oh.
"Lalu kemana kau pergi tadi? Mengapa kau tidak menungguku terlebih dahulu?" kini Niall memutar kepalanya dan menatapku.
"Sebenarnya aku mencarimu kembali ke toilet, namun kau sudah tidak ada disana. Jadi aku memilih untuk langsung menuju kemari, karena aku pikir kau sudah ada disini" Niall manggut-manggut dengan jawabanku, kemudian kembali menengok pada layar televisi dan menikmati acara televisi yang sedang dia tonton.
"Niall aku lapar" aku menyenggol pelan lengan Niall, dan berusaha agar tidak terlihat gugup di hadapannya.
"Ya kebetulan sekali aku juga lapar, jadi bisakah kau memasakkan sesuatu untukku Nona manis?"
Sial.
Terkadang Niall memanggilku dengan nama yang mampu membuatku kesulitan untuk tidur di malam hari. seperti kemarin dia memanggilku love, dan hari ini dia memanggilku Nona manis, lalu dia akan memanggilku apa pada esok hari? Apakah babe? Honey? Sweetheart? Sweety? Ugh, perlu kau tahu Niall sudah sering memanggilku dengan panggilan 'sayang' seperti itu. Entahlah, mungkin Niall hanya iseng memanggilku seperti itu. Namun aku selalu menganggapnya 'lebih'.
"Aku yang memintamu, mengapa kau yang memerintahkanku?" protesku.
"Ini rumahku dan aku adalah tuan rumah disini, jadi ayolah buatkan aku makanan, aku benar-benar lapar love"
Love?
Deg.
Panggilan sialan-yang-membuat-aku-kesulitan-bernafas itu lagi.
Aku pun mengalah, aku berjalan menuju dapur dengan gemuruh berseru di dadaku. Aku membuka kulkas Niall dan aku hanya menemukan spageti di dalamnya. Aku meraihnya dan memasaknya dengan cepat.
Setelah selesai aku kembali dan meletakkan sebuah piring berisi spageti di pangkuan Niall dan aku mengambil posisi duduk seperti tadi, di sebelahnya. Niall menoleh padaku kemudian tersenyum "Terima kasih" Aku mengangguk kemudian menyuapkan satu suapan spageti kedalam mulutku.
"Kau tahu? Aku benci mengakui ini, tapi spageti buatanmu selalu berbeda rasanya. Terasa lebih lezat dan aku ingin terus memakannya" gumam Niall disela mulutnya yang penuh.
"Kau berlebihan Niall, rasa spageti di swalayan itu terasa sama semua" sanggahku.
"Aku serius Julie, akan beruntung sekali jika suamimu kelak memilikimu. Selain spagetimu kau juga bisa membuat berbagai masakan. Jika aku yang menjadi suamimu, aku akan sangat bahagia karena memiliki istri yang sangat pandai memasak"
Deg.
"...Jika aku yang menjadi suamimu, aku akan sangat bahagia karena memiliki istri yang sangat pandai memasak"
Aku menjauhkan berbagai macam pikiran yang menyerang otakku sekarang, aku mempercepat makanku karena aku menjadi salah tingkah. Tapi mau secepat apapun aku makan, aku tidak akan bisa mengalahkan kecepatan makan Niall, apalagi dengan keadaan dia yang sedang lapar sekarang ini.
"Kau terlihat sangat lapar" protes Niall seraya meletakkan piringnya ke atas meja.
Aku tidak menggubris perkataan Niall, aku kembali memasukkan suapan terakhir kedalam mulutku. Belum selesai aku mengunyah, Niall menarik daguku sehingga aku menoleh padanya.
"Astaga kebiasaan sekali, kau makan seperti anak ayam" Niall geleng-geleng kepala tertawa renyah.
Susah payah aku berusaha menelan kunyahan terakhir, di hadapan Niall. Niall kembali terkekeh melihat aku yang terlihat sangat salah tingkah.
"Boleh aku membersihkan bibirmu yang berantakan itu? Ya hitung-hitung ucapan terima kasih ku karena kau sudah mau memasakkan makanan untukku"
Ugh tidak biasanya Niall seperti ini, biasanya dia akan mengantarkanku pulang sebagai ucapan terima kasihnya, ya walaupun dia tidak pernah mau masuk kedalam rumahku karena alasan sudah malam.
"Tapi aku akan membersihkannya dengan cara yang berbeda"
Aku tidak menggeleng maupun mengangguk, aku hanya berdiam diri seperti patung.
"Pejamkan matamu" perintahnya.
Terasa seperti di sihir, aku langsung memejamkan mataku.
Beberapa saat kemudian, bukan sebuah tisu atau serbet yang menempel pada bibirku. Namun sesuatu yang terasa kenyal dan basah. Menyapu sekitaran bibirku dan berakhir di bibirku penuh. Aku tidak berani membuka mataku karena aku tidak mempunyai cukup keberanian untuk itu. Dadaku terasa sempit saat ini, apalagi ketika aku merasakan sebuah hembusan nafas hangat di wajahku. Ingin rasanya aku meloncat dari lantai sepuluh apartemen ini.
Tiba-tiba hembusan nafasnya menghilang dari wajahku, dan aku membuka mataku kecewa ketika sesuatu yang kenyal dan sedikit basah itu menghilang dari bibirku. Aku memandang Niall yang terlihat kikuk di hadapanku.
Niall tersenyum canggung sambil mengusap tengkuknya "Bibirmu terasa seperti spageti, jadi membuatku ingin menggigitnya".