Forty Second Petal

38 4 20
                                    

Keesokan paginya, entah karena memang kelelahan atau sudah menunjukkan gejala sejak kemarin, Shiragiku terserang demam. Suhu tubuhnya seketika naik dalam semalam dan kepalanya pening begitu dia terbangun hingga kesulitan untuk berdiri atau bangkit dari kasur. Terpaksalah hari ini si krisantemum putih tidak masuk sekolah.

Tsubaki menaruh kain yang dibasahi air dingin ke kening saudarinya, lalu menaikkan selimut. "Sudah cukup nyaman?" tanyanya. Shiragiku mengangguk. "Aku akan meminta Marry membawakan obat penurun demam. Kau tidak apa jika kutinggal? Shion-nii juga tidak bisa menemani seharian, jadi hanya ada para pelayan."

"Aku akan baik-baik saja. Toh, ini hanya demam," sahut Shiragiku. "Maaf aku tidak bisa pergi ke sekolah bersamamu hari ini."

Tsubaki menghela napas sembari tersenyum kecil. "Baiklah. Aku pergi dulu, ya. Nanti aku akan membawakan catatan pelajaran hari ini untukmu. Jika ada apa-apa, panggil saja Marry atau pelayan lainnya."

Shiragiku mengangguk. Tsubaki pun beranjak keluar dari kamar dan berjalan turun ke lantai satu menuju ke ruang makan untuk menyiapkan bento-nya. Di meja makan, yang pertama kali dilihat adalah tumpukan nasi yang belum diratakan dan sayur di sisi lainnya.

Tanpa perlu bertanya, Tsubaki langsung tahu siapa biang kerok kurang kerjaan yang menyiapkan bento dalam keadaan berantakan. "Shion-nii...,"

Sang kakak muncul dengan membawa kotak bento sendiri dan dengan roti isi selai cranberry di mulut. "Hmm?"

"Sudah kubilang aku saja yang menyiapkan bento, kenapa jadi kau yang memasak?" protes Tsubaki. Dia meratakan nasi yang masih berantakan di kotak makan siangnya dengan sendok. "Untung saja kau menyendok nasi tidak sampai segunung."

Shion menggigit rotinya. "Aku hanya mau menyiapkan makan siang untuk kedua adikku. Sesekali aku yang memasak untuk kalian."

"Dengan cara memberiku nasi segunung? Enak saja," balas Tsubaki. "Satu lagi, Shiragiku sedang sakit, jadi dia tidak masuk sekolah hari ini."

"Eh, Shiragiku sakit?"

"Demam tinggi, tapi mungkin dia bisa memulih kalau beristirahat seharian." Tsubaki kemudian berpikir-pikir. "Lebih baik kubuatkan miso, ya. Mumpung masih pukul tujuh kurang, aku masih punya waktu untuk membuatnya."

"Ah, itu biar aku yang lakukan. Kau lebih baik segera ke sekolah," tawar Shion. "Toh, di toko antik aku masih bisa datang agak telat."

"Tidak, aku saja. Lagipula aku dan Shiragiku sering seperti ini jika satu dari kita sedang sakit."

"Ayolah, untuk kali ini saja aku memasak untuk adik sendiri."

"Kau yang memasak, nanti dapur bisa acak-acakkan, Shion-nii."

"Ehh, aku bisa melakukannya sendiri. Memangnya kenapa, sampai kau sebegitunya tidak percaya?"

"Jangan kira aku lupa kejadian beberapa bulan yang lalu, kau sempat hampir meledakkan seisi dapur saat kita bertiga dengan Kaede dan Momiji menginap di pondok dekat Fudeshima waktu libur musim panas lalu. Masih mengelak juga, kutimpuk kepalamu."

Shion menghela napas. "Begini saja, kau yang buat supnya. Baru nanti aku yang memberikannya kepada Shiragiku. Impas?"

Tsubaki tersenyum kecil. "It's a deal."

Tak berapa lama, Kigiku muncul di ruang makan. Beliau melihat kedua anaknya di depan pintu dapur. "Ada apa pagi-pagi kalian sudah debat seperti ini?"

"Ah, itu. Aku dan Tsubaki hanya berdebat soal siapa yang membuat sup miso. Aku menawarkan diri, tapi dia malah tidak mau," ujar Shion.

"Aku masih tidak bisa mempercayakanmu untuk menangani dapur," balas Tsubaki.

[End] Chrysanthemum & Camellia 3: Final JudgementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang