Forty Fourth Petal

25 4 10
                                    

Tsubaki membuka pintu atap. Dia melihat ke sekeliling mencari sosok saudarinya. Shiragiku pastilah bersembunyi entah dimana dan takut untuk keluar. Trauma itu mungkin masih menghantui pikirannya. Dan si camellia merah percaya luka masa lalu yang pahit terbuka secara sengaja malah akan membuat trauma tersebut mengganggunya.

Akhirnya dia menemukan Shiragiku. Si krisantemum putih terlihat tengah berjongkok di balik dinding sembari memeluk kedua kakinya dan kepala tertunduk. Mulutnya komat-kamit menggumamkan sesuatu dengan pelan.

Tsubaki menghampiri saudarinya. "Shi—"

"Jangan katakan apapun. Kumohon."

Saudarinya terdiam sesaat. Dia berlutut di depannya. "Kupikir... semua itu tidak akan pernah terjadi lagi...," kata Shiragiku seketika. "luka yang sudah lama kututup... Mungkin apa yang Mia katakan beberapa tahun lalu memang benar, aku hanya anak culun yang lemah,"

Tsubaki tertegun. "Tidak, kau tidak lemah," dia mengelus kepala Shiragiku. "Tidak ada yang boleh menilaimu seburuk itu. Kau tetaplah dirimu, tidak peduli mereka menganggapmu lemah atau tidak. Aku akan berusaha untuk mencari siapa yang melakukannya dan meminta orang itu untuk bertanggungjawab."

"Tidak, aku memang lemah, sampai tidak bisa melawan balik perbuatan Mia. Selalu ada kalian yang membela, sementara aku tidak memiliki kekuatan untuk berdiri sendiri dan menghadapinya. Bahkan sekarang saja kau lihat sendiri seperti apa kejadiannya. Aku malah kabur tanpa berani menghadapi mereka."

"Shiragiku...,"

Si krisantemum putih memeluk erat kedua kakinya. "Tinggalkan saja aku... untuk saat ini. Aku membutuhkan waktu."

"Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian." Tsubaki memeluk saudarinya dengan erat. "Takkan kubiarkan siapapun menyakitimu dan membuatmu meneteskan air mata lagi."

Shiragiku hanya mengangguk, membalas memeluk si camellia merah. Dua tahun yang lalu, dia juga melakukan hal serupa. Selalu saja Tsubaki yang menenangkannya. Ingin sekali rasanya menjadi orang yang bisa menghibur kembarannya, tapi entah kenapa sulit sekali untuk merangkai kata-kata yang tepat.

Tsubaki mengusap kepala Shiragiku. "Aku di sini, Shiragiku. Jika semua orang membencimu, aku tidak akan pernah melakukan hal itu."

Saudarinya mengangguk kembali. Kemudian Tsubaki melepas pelukan. "Ayo, kita kembali ke kelas. Aku yakin Kanzaki dan Misao juga akan khawatir."

"Aku... biarkan saja aku di sini untuk sementara. Sungguh, aku masih harus menenangkan pikiran," tolak Shiragiku.

Tsubaki tidak bisa mencegah, satu-satunya cara untuk Shiragiku bisa tenang adalah dengan menyendiri. Tapi dia tidak ingin saudarinya untuk diam memojok seperti ini dan malah semakin menyiksa diri.

"Shiragiku, kau mau konsultasikan saja ini kepada Kizuna-sensei? Siapa tahu dia bisa membantumu," tawar Tsubaki. "Aku tidak mau kau malah terpuruk seperti ini."

Yang ditanya menggeleng. "Kumohon... biarkan aku menenangkan pikiran terlebih dulu."

Tsubaki mau tidak mau menuruti permintaan Shiragiku. "Baiklah. Aku akan menunggumu di kelas. Istirahat nanti, aku traktir roti soba di kantin sekolah agar kau lebih baik, oke?"

Shiragiku hanya mengangguk. Tsubaki pun dengan berat meninggalkan saudarinya, membiarkannya untuk menyendiri. Dia pun turun ke lantai tiga, kemudian menghentikan langkah begitu sampai di bawah.

Haruskah dia mengatakan ini kepada Kizuna-sensei? Karena bagaimanapun urusan ini juga menyangkut penindasan yang telah melanggar aturan sekolah. Dua tahun lalu, sistem kasta yang pernah diberlakukan oleh Akiko dihentikan oleh pihak sekolah begitu si mantan ketua OSIS meninggal bersamaan dengan menghilangnya Akako –yang akhirnya bunuh diri setelah insiden pengeboman. Sistem tersebut entah kenapa dibiarkan berjalan selama hampir enam bulan setelah Akiko menjabat menjadi ketua OSIS.

[End] Chrysanthemum & Camellia 3: Final JudgementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang