#3

1K 190 2
                                    


"Hey! Mana orang yang berjaga di sini?"

"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"

Kau mematung di ambang pintu menuju konter. Di sana berdiri seorang pria berbadan besar yang tinggi kekar dan terlihat begitu kesal. Bukan bersungut-sungut, tapi benar-benar terlihat marah. Ia mengambil tusuk gigi yang menyelip di antara gigi jarangnya, menaikkan dagu setinggi mungkin sembari menatapmu seakan kau seonggok sampah.

"T-tuan?"

"Ya, cepatlah. Aku butuh seekor anjing. Yang besar. Kau dengar itu?"

Firasatmu benar-benar buruk. Instingmu berdering nyaring. Kau menaikkan kedua alismu sembari membatin bagaimana caranya menghadapi situasi seperti ini. Kalau semua ini berjalan buruk, Juhi ada di dekat sana, tapi... kau benar-benar gelisah hanya dengan melihat kedua manik kuning itu. Terlihat penuh dengan keyakinan dan ego, tidak seperti manik yang biasa kau hadapi sebelum-sebelumnya. "Kau bisa pergi ke kandang dan melihat mereka, tapi..."

Ia menghantammu ke tembok. Kau merasa bahumu bergemeletak dan rahangmu terbentur dengan keras. "Dasar sialan tak berguna!" Ia berlalu menuju kandang anjing.

Saat yang tepat untuk menelepon polisi. Kau buru-buru meraih telepon di konter. Hampir menekan tombol angka.

Kau tidak pernah mendengar bunyi pintu menuju kandang anjing terbuka untuk yang kedua kalinya.

"Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?" Ia merenggut rambutmu dan menghantammu kembali menuju tembok. Kau tersungkur ke lantai, lehermu berdenyut nyeri. "Kau pikir kau bisa memanggil polisi? Jangan berharap, wanita jalang."

Kau pikir kau telah melihat segala macam kejadian di tempat ini. Tapi inilah kali pertama hal seperti ini terjadi.

Raungan kecil yang datang dari balik meja terdengar kian melengking.

Gudetama memelototi penjahat dari atas kursi. Giginya berkilau kala ia mendesis.

"Diam kau!"

Ia mengangkat sebelah kakinya untuk menendang Gudetama, tapi kau melompat menuju mereka.

Sebuah tali pengikat hewan mencekik leher si penjahat, ia terjungkal ke belakang.

"Hari ini aku memutuskan untuk tidak membawa senjataku, dan inilah yang terjadi." Keluh sang pria penyuka kucing. Ia mempererat talinya, membuat penjahat itu kesulitan bernapas. Si pria pemarah itu meronta dan menggigiti tali, namun percuma.

Kau memiliki banyak anjing yang suka menggigit. Tempat ini memiliki berbagai macam tali yang tahan gigitan, tapi kau tak pernah berpikir bahwa tali-tali itu bisa digunakan untuk melawan seorang penjahat.

"Kau harus keluar dari sini. Dan jangan pernah kembali lagi. Mengerti?"

Penjahat itu meronta, wajahnya mulai memerah. Namun terlihat berusaha untuk mengangguk.

"Bagus. Sekarang, pergi."

Ia berlari tunggang-langgang menuju pintu, meninggalkan segala kekacauan begitu saja. Kau memutar badanmu hingga kau bisa mengadah ke arah lelaki yang berdiri di sampingmu. Dari tempatmu tersungkur, kau bisa melihat bahwa sosok pria itu terlihat begitu kuat.

Ia meletakkan kembali tali ikat hewan di genggamannya ke atas meja lalu mengulurkan tangan kepadamu. Kau menerima ulurannya dengan kedua tanganmu. Lututmu mati rasa, membuatmu lemas. Namun ia menyeimbangkan tubuhmu, satu tangannya melingkari tubuhmu dan satunya lagi meraih pergelanganmu.

"Aku akan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi. Dia tak akan kembali lagi." Pria itu menepuk bahumu, perih. Namun kau tidak memintanya untuk menurunkan kedua tangan itu. Kau tidak ingin ia berhenti melakukannya. "Kau terluka?"

"Aku tidak merasa ada luka yang parah. Aku hanya..." Kau menelan air liurmu susah payah.

Kejadian mengerikan itu nyaris menghabisimu. Bisa saja kau berakhir dengan luka parah di sekujur tubuhmu. Jika pekerja lainlah yang berjaga hari ini, bukan kau, pasti mereka akan kapok. Mereka akan mendatangi bosmu, keluar dari tempat ini, dan menyuruhmu mengurus segala pekerjaan mereka sebelum mereka mampu kembali bekerja lagi. Itupun kalau mereka mau bekerja lagi.

Kau tidak tahan.

Kau benar-benar tidak akan tahan dengan semua itu.

"Ya ampun," Gumamnya, masih menepuk pelan bahumu tanpa melepas tatap dari kedua matamu yang tengah sibuk menatap lantai. "Hey, tadi itu memang mengerikan, tapi kau baik-baik saja. Tak apa."

"Bagaimana kalau tadi dia menyakiti hewan-hewan itu?" Isakmu. "Bagaimana kalau tadi dia sempat mengambil salah satu anjing itu? Aku tidak akan bisa menghentikannya! Ya Tuhan, kalau tadi dia sempat menendang Gudetama—"

Kau menarik napas tajam dan tanpa sadar menepis genggaman si pria, menyebabkan kursi di belakangmu berderak.

Kucing kesayanganmu melompat, mendesis. Tatapannya liar. Ia terlihat takut, nyaris terluka. Perutmu bergejolak dan terasa dingin. Saat tanganmu terulur untuk menenangkannya, kucing itu meraung lagi lalu memojokkan diri di antara kaki kursi.

"Kasihan sekali dia," kau menghela napas.

Pria di sampingmu berlutut, menatap monster kecil berbulu di hadapannya yang seakan siap membunuh. "Hey. Aku tidak akan membiarkan orang-orang jahat itu mendekatimu, oke? Jangan berlebihan." Ia mendongak, menatapmu, lalu kembali mengalihkan pandang menuju Gudetama. "Kenapa kau sangat menyayangi kucing ini?"

"Dia..." Kau menghabiskan isakanmu yang tersisa lalu mengusap matamu yang basah. Rasa bersalah terasa begitu berat, menyelimutimu dari dalam seperti lapisan gula kental. "Dia hewan yang paling lama tinggal di sini."

Kau bisa mendengar pertanyaan yang terlontar walau pria itu belum mengatakannya. Pertanyaan itu berbunyi "Kenapa?". Pada akhirnya kau akan menjawabnya.

"Dia telah ada di sini semenjak ia masih bayi. Seseorang menemukan kotak berisi anak-anak kucing yang ditinggalkan di tengah hujan, dan Gudetama adalah satu-satunya yang tidak diadopsi. Ia jarang muncul untuk bertemu orang-orang; ia lebih memilih untuk menyendiri dan tidur siang. Bukan karena sakit, tapi karena dia adalah seekor kucing yang tidak suka didekati. Dia tidak menyukai banyak orang."

"...Huh."

Tbc.

Lazy Egg [Aizawa x Reader] Translated ficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang