SATU

4.7K 325 62
                                    

*Sembilan tahun lalu*

Lelaki bernama Keenan Umair Zhafran adalah salah satu panitia penerimaan siswa baru SMA Duta Pertiwi. Sekolah swasta yang bergengsi dan memadukan akademik dengan pendidikan agama Islam. Meskipun tidak dapat disebut dengan istilah SMA Islam Terpadu.

Tapi ya itu, bagi sebagian siswa yang kebanyakan anak orang berpunya, kegiatan rutin keagamaan hanya menjadi rutinitas belaka. Seolah pemberlakuan jam sholat Dhuha dan azan Zhuhur agar siswa-siswi bersegera memenuhi panggilan Illahi, hanya sebagai tanda jam istirahat dimulai.

Zhafran sedari tadi sudah mencari wajah Inara sambil bersiul, siswi baru yang semalam 'dititipkan' Papa padanya. Ia sudah banyak berharap, siswi ini akan merubah penampilannya jadi lebih menarik dari pada di foto ukuran 4 x 6 dengan latar warna merah. Dan ia akan memastikan, Inara menurut pada setiap perintahnya.

Bukankah gadis ini bisa bersekolah disini, karena belas kasihan Papa, yang merupakan atasan dari Ayah gadis yang bernama Inara Ilyana.

"Cari siapa sih Zhaf?"

Maureen, salah satu teman dekatku, ikut penasaran dengan wajah-wajah murid baru.

Daftar absen ada di tanganku. Sampai bel berbunyi tepat pukul 7 pagi, gadis itu belum juga muncul.

"Bersikaplah baik pada Nara. Ayahnya mengatakan dia gadis yang rajin dan baik. Sejak SMP, Nara membantu Ibunya berjualan kue subuh di Pasar. Kalau saja Papa tidak ingat, Ibunya Nara sering memasakkan makanan saat ulang tahun perusahaan. Mungkin saat ini Ayahnya sudah Papa PHK."

Zhafran mendengarkan acuh tak acuh.

"Sejak sakit stroke setahun lalu, Ayahnya Nara kurang produktif. Ia hanya bekerja di kantor mengerjakan administrasi dan sudah tidak bisa terjun ke lapangan lagi. Nara adalah satu dari beberapa anak asuh yang Papa bantu untuk biaya SPPnya, karena dia pelajar yang berprestasi."

Lalu Papa memberikan foto seorang gadis berkacamata layaknya kutu buku dengan rambut kuncir dua.
Jadi... Ini yang namanya Nara?

Meski benci untuk mengakui, tapi Nara terlihat manis dengan pipi tembam dan hidung mungil. Serta kaca mata yang bertengger di hidungnya. Zhafran menahan tawa karena di foto itu, kacamata Nara tampak melorot.

Tapi yang ada di pikiran Zhafran mulai malam itu, hanya untuk menjadikan Nara sebagai asisten pribadinya. Hari-hari tahun terakhirnya di SMA tentu tidak akan sama lagi. Mulai besok ia akan belajar menjadi seorang Bos dan merasakan bagaimana memiliki anak buah.

Terdengar suara ribut-ribut di depan pagar sekolah. Ada 4 orang anak yang datang terlambat. Sudah ia duga. Sepertinya salah satunya adalah si Inara. Baru ia hendak ikut memberi hukuman, seseorang lebih dulu datang dan 'mengampuni' siswa yang datang terlambat.

Siapa lagi kalau bukan Hamzah Akbar, ketua Rohani Islam. Di jajaran panitia MOS (Masa Orientasi Siswa), Hamzah memang saingan terberatnya. Ibarat goodboy dan badboy, Hamzah selalu terlihat sebagai pemeran protagonis dan Zhafran adalah antagonisnya.

Kedua mata Zhafran memandang awas, gadis berkacamata yang satu-satunya berlari ke dalam barisan siswi baru. Ternyata ia salah. Gadis ini tidak ada manis-manisnya. Dia hanya fotogenic. Terlihat manis hanya di foto. Selebihnya terlalu biasa dan rasanya begitu salah bila ia tidak memanfaatkan kepolosannya.

Zhafran sengaja menunggu apel pagi selesai dan setelah guru selesai memimpin upacara, ia langsung menarik ransel butut coklat yang bahkan warnanya sudah memudar.

"Inara Ilyana, ikut saya."

Beberapa pasang mata memandangnya aneh. Bagaimana seorang lady killer seperti Zhafran, bisa tertarik dengan gadis bertubuh gempal berkacamata dengan rok menjuntai hampir semata kaki.

Baghdad and Madinah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang