EMPAT BELAS

1.4K 262 28
                                    

*9 tahun kemudian*

Kerudung berwarna nila yang melilit hingga menutup dada milik Nara, berkibar tertiup angin. Cuaca yang semula mendung, kembali cerah dikarenakan angin menghembus kencang.

"Bunda, jadi kita sekarang membuat grup baru?"

Nara menyapa murid baru di SMA Terbuka yang diajar olehnya. Dia sudah lulus dengan gelar sarjana pendidikan dua tahun lalu. Dia pun dulu merupakan alumni SMA yang kini dia naungi.

Mereka masih menempati gedung SMA Negeri 3 dan belajar di jam kelas sore hari. Dulu Nara melaju pulang-pergi untuk kuliah S1 di kota dan mau tidak mau, dia akhirnya belajar naik motor.

"Sekarang, tulis kota tujuan kalian nanti akan kuliah."

Seorang murid berkuncir dua dan berkacamata mengacungkan jari. Mengingatkan Nara akan sosoknya dulu, sebelum berhijab.

"Bunda, apa kita nanti bisa melanjutkan kuliah di luar negeri?"

"Huuu... " Spontan beberapa anak mengejek gadis yang bernama Mita.

"Tidak ada yang tidak mungkin, Mita. Selama kita bertawakkal pada Allah. Karena sejatinya tawakkal itu adalah seberapa besar usaha kita untuk meraih ridho Allah.

Banyak sahabat Bunda yang berhasil kuliah di Jepang dan Belanda. Ada juga yang belum berhasil mewujudkan impiannya, tapi dengan izin Allah, mereka bisa melanjutkan kuliah di kota besar di Indonesia."

Suasana kemudian hening sejenak. Semua tahu, Bunda Nara -demikian siswa siswinya memanggil- tidak suka ada bila ada muridnya yang saling mencela satu sama lain.

Bila itu terjadi, Bunda akan memberi surat peringatan sebanyak 3 kali. Bila masih melanggar, Bunda akan memberi hukuman seisi kelas untuk tidak mengajak bicara. Nara teringat hukuman Rasulullah terhadap sahabatnya, Ka'ab bin Malik yang di'cuekin' sampai Allah menerima taubatnya Ka'ab.

"Bun, kalau nama kota yang dituju sama. Kayak aku sama Dino, sama-sama mau kuliah di Bandung, gimana Bun?"

Irfan menyenggol Dino yang seolah mengikuti kemana ia akan kuliah. Mereka memang seperti Ipin dan Upin, kemana pun selalu berdua. Padahal bukan anak kembar dan tidak ada hubungan saudara.

Nara tersenyum. Sudah dua tahun ini dia akhirnya bisa tertawa bahagia. Itu terjadi saat mengajar murid-muridnya. Sebelumnya ketika dia masih SMA dan melanjutkan kuliah, sikapnya dingin bagaikan bola salju.

Om Hardian, sahabat Almarhum Ayah, membantu biaya kuliah Nara. Tentang hubungan dengan Ibunya, gadis itu tahu sudah berulang kali Om Hardi melamar Ibu menjadi istrinya. Ternyata Ayah pernah berpesan di masa lalu, bila Ayah sudah tiada, Om Hardilah yang akan menjaga Ibu.

Hingga saat ini Ibu masih belum menerima lamaran Om Hardi. Nara tahu alasannya. Ibu tidak ingin ada yang mengusik kebahagiaan orang-orang yang disayanginya.

"Irfan bisa menulis Bandung1, Dino Bandung2."

"Nggak seru Bu, gimana kalau pakai ciri khas kota Bandung. Gedung Asia Afrika dan Gedung sate."

Irfan protes lalu menepuk dada atas ide briliannya.

"Bandung lautan api juga bagus Fan."

Imran menyeletuk.

Nara menyunggingkan senyum. Bersama anak-anak didiknya, dia meraih kembali kata bahagia dalam hidupnya.

"Iya bebas, senyamannya kalian saja. Oke masih ada waktu lima belas menit, membuat kota destinasi kalian untuk kuliah selepas lulus dari sini. Setelah itu, tulis apa usaha kalian untuk mencapai tujuan itu. Bahasanya nggak usah sulit-sulit. Nanti kalian japri ke Bunda. Paling lambat hari ini jam 7 malam."

Baghdad and Madinah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang