DUA PULUH LIMA

1.4K 258 61
                                    

*Rumah Zhafran*

Mama membawakan teh tawar hangat, meski tahu kadang suaminya meminum, namun lebih sering tidak menyentuhnya.

"Zhafran pergi kemana?"

Lelaki dengan sebagian rambut putih itu, bertanya.

"Tadi pamit menemani temannya, Hamzah ta'aruf. Hamzah akan menikah."

Mama tidak beranjak dan kemudian memilih duduk di ruang kerja Papa, sambil membaca buku.

"Oh, Hamzah Putranya Pak Romi?"

Mama mengiyakan.

"Sepertinya kita sudah semakin tua. Apa memang kita sudah pantas menjadi Kakek dan Nenek?"

Perempuan itu tersenyum getir, mendengar pertanyaan retoris suaminya. Justru di saat usia menjelang senja inilah, suaminya meminta mereka berpisah.

"Tidak ada yang Mama inginkan, selain melihat Zhafran menikah dengan perempuan pilihannya. Itu saja."

Lelaki itu melepaskan kaca mata yang bersandar di hidungnya.

"Baiklah, seperti janjiku. Aku akan merestui Zhafran menikah dengan Nara. Setelah itu pengacaraku akan mengurus perpisahan kita. Kalau ada harta atau aset yang ingin kamu ambil, katakan saja."

Akhirnya datang juga saat seperti ini dalam hidupnya. Bukankah dia sudah menyiapkan semuanya.

"Sejak awal kita menikah, aku tidak melihat harta Papa. Harta tidak akan kita bawa mati. Hanya amal baik dan do'a dari anak-anak yang sholeh yang menolong kita kelak. Setelah kita berpisah, aku akan tinggal dekat dengan Zhafran. Aku ingin melihat anak, menantu dan cucuku kelak tumbuh besar."

Lelaki itu terhenyak seketika. Mengapa kini ia seperti berada di ruang hampa udara. Dadanya terasa sesak mendengar ucapan Karina, Mama Zhafran. Ia merasa kecewa karena berharap istrinya akan menolak untuk berpisah.

"Ma, mengapa kamu dengan mudahnya mengabulkan permintaanku untuk berpisah. Mengapa tidak bertahan sampai aku sudah tidak ada di dunia ini. Kenapa? Apa kamu sudah lelah menemaniku?"

Perempuan itu menahan perih. Sudah berhari-hari lalu dia menangis. Kini tangisan itu telah berganti harapan akan kebahagiaan untuk Zhafran dan Nara.

"Karena Papa yang paling mengerti jawabannya. Aku bukan istri yang Papa inginkan. Suatu hari nanti, aku akan kembali, jika Papa sudah bisa berdamai dengan masa lalu. Karena dengan itu, aku akan merasa dicintai dan disayangi."

Bunyi bel dari arah pintu gerbang, memecah keheningan di antara keduanya.

"Ada tamu, Pa. Mama ke depan dulu."

Selalu seperti ini, bertahun-tahun sejak Zhafran pergi kuliah keluar negeri. Hubungan mereka terasa hambar. Karina tidak banyak berbicara dan lebih memilih melakukan Video call dengan putranya, ketimbang dengan suaminya.

Faisal pun tenggelam dalam kesibukannya menumpuk rupiah. Lalu Tuhan seolah menghukum lelaki itu dengan penyakit yang menakutkan.  

Cancer.

Meski kanker usus yang diderita lelaki itu, terdeteksi di stadium awal, tetap ia bertanya. Mengapa harus ia yang mengalami hal ini. Tapi mungkin ini cara Tuhan mendekatkan dirinya kembali dengan Karina.

Istrinya tetap setia menemaninya ke rumah sakit dan tidak pernah mengeluh. Meski bertahun-tahun hanya kesakitan dan kesedihan yang ia berikan pada perempuan ini.

Zhafran, putranya benar. Ia hanyalah seorang suami dan Ayah yang gagal menjadi kebanggaan istri dan anaknya. Saat Karina memohon padanya, agar Zhafran tidak dikirim kuliah keluar negeri dan meminta suaminya tidak mengusir Alma dan putrinya. Faisal tidak bergeming.

Baghdad and Madinah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang