*Zhafran Pov*
Aku tersenyum sendiri menatap langit-langit kamar yang baru kutempati. Masih kuingat ekspresi jengkel dari Nara, saat aku duduk di dalam kamar milik Om Maulana, adik dari Ayahnya Nara.
Tugasku seperti seorang mandor yang mengecek pekerjaan anak buahnya. Dengan bersungut dia menyapu dan juga mengepel kamar. Bahkan mengganti seprai dengan yang baru, setelah sebelumnya membersihkan kasur dengan sapu lidi.
Sialnya, dia sengaja menepuk-nepuk kasur sampai debunya beterbangan. Membuat hidungku gatal dan seketika aku terbatuk-batuk. Belum lagi sebelum aku tidur, Bu Ina, istri Pak Karnadi mempersilahkan aku mencicipi kue kering sebelum dimasukkan satu persatu ke dalam toples.
Pandangan mata Nara terhunus padaku, seolah tidak rela aku menikmati kue yang ternyata memang lezat. Tidak kalah dengan kue bermerk di toko kue terkenal. Membuatku semakin ingin menguji kesabaran gadis itu, dengan berlama-lama menghabiskan kue hingga setengah toples.
"Ibu... Itu kuenya hilang 1 toples."
Nara merengek seperti anak kecil. Lebay, padahal serius aku cuma makan setengah toples. Tumben banget aku kelaperan malam-malam. Mungkin karena jam segini, Mama biasanya menyiapkan minuman hangat dan juga kue di kamar. Meski kadang jarang kumakan.
"Ibu malah senang kalau Nak Zhafran suka kue buatan Ibu."
Di saat kedua orangtua Nara beranjak pergi, aku sengaja memeletkan lidah ke arah Nara. Masih sempat aku mendengar dia berani bilang, "Awas" ke arahku. Eh, bisa juga dia balas mengancam.
Hanya butuh waktu dua puluh menit, aku akhirnya memejamkan mata dan mulai masuk ke alam mimpi. Mungkin karena kekenyangan. Tengah malam aku terbangun karena kedua betisku tiba-tiba kram. Lalu aku mencoba meluruskan kaki meski awalnya terasa nyeri. Mungkin karena aku tadi jalan kaki dari sekolah ke rumah Nara.
Kukuruyuk...
Suara ayam bersahutan membangunkanku. Aku meraba Iphone di balik bantal. Baru sadar, punggungku sakit semua saat mulai memincingkan mata. Kasurnya benar-benar beda banget sama di rumah. Bisakah aku bertahan selama sebulan disini.
Baru jam 4 pagi. Tapi ayam-ayam itu sudah berisik. Aku menarik kembali selimut berwarna biru laut. Baunya kayak bau pewangi yang suka dipakai sama Nara. Jadi pengen balik tidur.
Tok.. Tok..
Aku mengerang lagi. Masih mengantuk.
"Ma, jam berapa sekarang?" tanpa sadar aku memanggil Mama.
Terdengar suara seseorang di luar. Itu bukan Mama. Aku terperanjat apalagi ketika tahu itu adalah suara Bu Ina, Ibunya Nara. Gawat, sekarang sudah jam 6 pagi dan aku belum sholat Shubuh.
Padahal biasanya aku bangun jam 5.30 dan langsung sholat. Memang aku hobi sholat kesiangan. Terlalu empuk kasur aku kayaknya. Jadi susah bangun. Bergegas aku masuk kamar mandi yang ada di dalam kamar. Hanya ada ember, gayung, tempat sabun dan gantungan baju.
Aku sudah membawa handuk dan peralatan mandi. Tadinya aku hendak menggunakan uang di dompet untuk menginap di hotel, semalam. Tapi entah kenapa teringat pernah mengantar Nara kesini, aku berharap siapa tahu ada rumah yang bisa disewa untuk 1 bulan. Memang kalau sudah rezeki, nggak akan kemana. Meski mungkin buat Nara, melihat aku seperti mendapat musibah.
Keluar kamar aku sudah rapi dengan seragam sekolah. Baru hendak mengunci pintu, Mama menelepon sambil menangis. Memintaku pulang hari ini. Tapi Papa boro-boro menelepon. Aku gengsi, buat apa pulang kalau hukumanku masih berlaku. Seolah aku pulang hanya untuk minta uang ke Mama.
Jam 06.30.
Duh, jam segini aku biasanya sudah perjalanan ke sekolah. Bisa-bisa terlambat. Bagaimana pun aku pernah menjadi pelajar teladan sewaktu kelas 2 SMA dan predikat itu harus aku pertahankan. Minimal good image lah di depan adik kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baghdad and Madinah
RomanceCITY OF FAME. Awalnya ini adalah grup chat sekumpulan anak -anak yang bermimpi meraih kesuksesan untuk bisa kuliah dan menyambangi dunia. Masing-masing mereka merajut mimpi untuk dapat pergi ke Tokyo, Amsterdam, Sydney, London dan Madinah. Bagaima...