SEMBILAN BELAS

1.4K 269 89
                                    

*Ruang keluarga, rumah Papa*

Lelaki berusia lima puluh limatahun itu, duduk sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada.

"Bisa jelaskan lagi ke Papa, alasan kamu ingin menikahi Nara? Kenapa harus Nara? Apa selama 9 tahun ini kalian tetap saling berhubungan, tanpa sepengetahuan Papa?"

Zhafran berusaha tetap tenang. Mungkin memang sudah pembawaannya yang terkesan dingin dan kaku, setelah ia berpisah dengan Nara. Satu hal yang sebenarnya tidak berubah dari dirinya, ia hanya dingin di luar. Namun hatinya tetaplah hangat.

Sayangnya, hanya sahabat-sahabatnya yang mengetahui hal itu. Nara pun mungkin tidak tahu bahwa selama ini Zhafran menutup rapat perasaannya. Di dekat Nara, ia bisa banyak tertawa dan merasa nyaman. Apalagi ketika dulu ia berhasil membuat Nara beberapa kali ngambek, karena gemar mengerjai gadis itu.

Meminta Nara membersihkan kamar yang ia tempati sementara, membersihkan kandang ayam karena ia tidak tahan dengan bau kotoran ayam. Tapi meski Nara terlihat kesal dengan permintaannya, tapi gadis itu tetap bersedia membantunya.

Hanya dengan cara itulah mungkin ia meyakinkan diri, bahwa gadis inilah yang telah mengenalkannya pada definisi cinta tanpa kasta. Hati yang tulus, seperti yang selama ini telah diajarkan Mama.

"Mengapa tidak boleh Nara, Pa? Apa karena Ibunya Nara?"

Kedua mata Papa membelalak.

"Papa tidak menyangka, 9 tahun kuliah di luar, malah membuat sikap kamu melawan seperti ini."

Zhafran mencoba masuk lebih jauh. Sejak Papa bersikeras memintanya meninggalkan Indonesia dan Nara yang tiba-tiba pindah sekolah ke desa. Semua jadi jelas bagi Zhafran.

Kepercayaannya pada Papa perlahan memudar, tepat di hari keberangkatannya ke UK. Wildan bersikeras mengajak Zhafran Videocall dengan Kak Qori. Perempuan berhijab itu, menjadi saksi pertemuan Papa dan Nara di kafe rumah sakit.

"Papa sudah punya aku dan Mama. Lalu mengapa harus Nara dan Ibunya
yang menjadi korban? Mama wanita baik, tulus menyayangi Papa, namun Papa justru menyia-nyiakan kehadiran Mama."

Lelaki tua itu hendak menampar pipi putra semata wayangnya, tapi ia mengurungkan niat.

"Pukul Zhafran, Pa. Sebagaimana dulu Papa sering menampar Mama, waktu Zhafran masih SMA."

Pintu ruang keluarga terbuka. Mama ternyata sedari tadi berada di depan pintu. Cepat Mama melangkah masuk dan memeluk Zhafran.

"Untuk kebahagiaan putraku, Mama menyetujui pilihan Zhafran. Sejak kecil, putra kita selalu menuruti permintaan Papa. Sekarang ia sudah dewasa. Sudah waktunya kita memberikan restu agar Zhafran  bahagia."

Papa membalikkan badan dan kepalan tangannya gemetar.

"Tahu apa kamu soal cinta, Zhafran. Cinta hanya akan membuat kamu egois dan terluka."

Zhafran masih membalas pelukan Mama dan ia bisa melihat Mama menitikkan air mata, mendengar kata-kata Papa.

Apakah ini benar Papa, sosok yang selama ini ia sayangi dan hormati. Tapi tidak ada sebongkah perasaan pun Papa menghormati Mama. Padahal mereka sudah bertahun-tahun menikah dan Mama selalu setia menemani Papa dalam suka duka.

"Baiklah kalau itu kemauan kalian berdua. Papa akan memberikan restu pernikahanmu dengan Nara. Tapi setelah kamu menikah, Papa dan Mama akan bercerai."

Zhafran terkejut.

Ia benar-benar tidak menyangka Papa sepicik ini.

Mama menguatkan pelukannya. Ada butir bening yang menyeruak dari kelopak mata dan bulu mata lentik wanita yang melahirkannya ke dunia.

Baghdad and Madinah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang