Chapter 30

729 97 44
                                    

Warning
Typo
Happy Reading

Kalau typo maafkan, malas revisi akunya

***

Pemandangan baru kala ia membuka mata, tangan besarnya menangkup cangkir berisikan kopi yang masih mengepulkan uap. Udara disini cukup dingin menusuk sampai ke tulang, pria itu memperbaiki topi dan mantel yang membalut tubuh jangkungnya. Melangkahkan kaki menuju perpustakaan umum pusat kota dengan laptop bertengger di lengan kirinya.

Ia memilih spot di pinggir ruangan untuk mendapat cahaya alami yang lebih baik, sebelum melakukan kegiatan pria itu menghembuskan napas pelan. Menata tiap barang dengan begitu rapi di hadapannya, menekan tombol power dan mulai membuka dokumenvpembelajarannya.

Sudah tiga minggu dan tidak ada sedikit kabarpun mengenai Park Jimin, apa ia terlalu berlebihan. Apa Jungkook terlalu memaksakan kehendak untuk sekedar mengikuti obsesinya?
Dirasa tidak sama sekali, ia hanya memperjuangkan cinta yang bahkan tidak berpeluang dibadingkan yang lain. Jungkook berpikir tidak akan pernah berhasil jika tidak dengan menggunakan sesuatu yang ekstrim.

Mengikat dengan ayahnya, Jungkook tersenyum sendu. Bahkan peluang untuk mendapatkan Park Jimin tidak ada sama sekali. Umur yang terpaut jauh, status sebagai anak dan ia tidak di cintai seperti layaknya Jimin kepada ayahnya. Hanya dengan menanggalkan satu ketidak mungkinan membuat pria itu sedikit merasa lebih berharap, meski kekhawatiran justru mendominasi. Tapi jika kemungkinan Jimin benar-benar menolak dan membencinya Jungkook akan mencoba mengikhlaskan. Sepertinya perceraian dari orang tuanya sedikit menambah ilmu dan pembelajaran jika sesuatu di mulai dengan tidak baik maka akan berakhir tidak baik pula. Hanya saja untuk sekarang ia tidak akan menyerah, mempersiapkan kehidupan yang lebih baik dan menjanjikan.

-

"Hoeeek,"

Sejak pagi Jimin tidak berhenti mondar-mandir ke kamar mandi, perutnya terasa melilit dan mual. Badannya melemas sehingga tidak sanggup dan malas melakukan aktifitas apapun. Beruntung ia sempat meminta ijin untuk tidak masuk kerja meski berakhir dengan introgasi tidak penting dari atasannya.

Wajahnya pucat pasi, Jimin merebahkan tubuh di sofa sebelum kembali merasa pusing dan mual. Seharian hanya ia gunakan untuk ke kamar mandi, merasa kejala tidak kunjung mereda Jimin memutuskan untuk mengistirahatkan dirinya total di kamar. Namun tanpa di sangka, Jimin yang meminta ijin tidak masuk kerja sampai ke telinga sang mantan suami. Ia berkunjung ke apartemen Jimin untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja, tidak masalah bukan.

Mendengar dari gejala Namjoon mencurigai sesuatu, tapi ia tidak mau mengambil keputusan tanpa bukti. Membujuk pria mungil itu pergi ke dokter meski dengan susah payah.
Setelah Jimin di periksa kecurigaannya semakin bertambah saat sang dokter memberinya selamat.

"selamat istri anda mengandung,"

Namjoon mematung saat dokter itu menyalaminya, antara percaya dan tidak. Hanya saja ia sudah begitu lama tidak menggauli si mungil tapi bagaimana bisa Jimin bisa hamil. Usia kandungannya sekitar tiga minggu, dan itu tepat ketika mereka bercerai. Sebenarnya apa yang ia lewatkan, ia merasa cemas. Mengatakan yang sesungguhnya atau menutupi. Tapi percuma di tutupi karena Jimin yang mengandung, tentu saja akan segera ketahuan.

"Namjoon-ah ada apa?"

"ah..." Pria itu tersentak saat mendapati Jimin yang sudah berdiri di belakangnya. Ia tersenyum kikuk saat mendapati Jimin memandangnya intimidasi. Pria itu merebut hasil pemeriksaan dan terbelalak saat ia membaca hasilnya, Bagaimana bisa.

Namjoon merengkuh pria itu, ia mengecupi pucuk kepala Jimin dan membisikan kata-kata penenang.

"kau hamil dan itu anakku kan? Aku yakin itu Jimin." ujarnya, Jimin bergeming. Ia menyangkal perkataan pria itu dalam hati. Perlahan air matanya terjatuh, apa kehidupannya akan hancur setelah ini. Karena tidak mungkin ia menggugurkan kandungan. Bagaimanapun dia tidaklah sekejam itu. Untuk saat ini biarlah dia melampiaskan emosi, memeluk Namjoon dan menangis sejadinya.

Setelah dirasa tenang Jimin memutuskan untuk kembali ke apartemen, Namun pria berdimple itu bersikeras untuk membawanya ke mansion. Tentu saja Jimin juga menolaknya keras, ia benar-benar menyangkal jika Namjoon mengakui sebagai ayah dari anak yang dikandungnya. Masalahnya ia belum bisa memastikan, karena pria yang terakhir kali menggaulinya adalah Jungkook. Pria brengsek yang saat ini tengah menempuh pendidikan di Jerman tanpa kabar apapun bahkan Namjoon saja lost kontak dengannya.

Jimin mengeram marah, pria itu seperti pergi meninggalkan tanggung jawab. Ia ingin sekali menyusul Jungkook dan menendangnya sampai mati, hanya saja Jerman tidaklah dekat.
Lalu bagaimana dengan nasibnya sekarang, dihamili dan di campakkan. Ia benar-benar merasa kesialan terus-menerus menimpa kehidupannya.

Tok tok tok

Seseorang mengetuk pintu, membuyarkan tiap lamunan Jimin. Ia bergegas membuka pintu karena menyangka tamu itu merupakan Jung Hoseok sahabat dekatnya. Namun ketika membuka pintu Jimin sedikit bergeming, benar sahabat dekatnya tapi sahabat dekat yang telah menjauh.

"Jimin-ssi" bariton yang tidak asing, bariton yang ia rindukan setiap harinya. Jimin bergegas menutup pintu namun kalah cepat karena segera di tahan, ia menerobos masuk dan segera menutup pintu. Menatap penuh intimidasi dan sebuah kerinduan.

Direngkuhnya pria mungil itu, "Jimin aku merindukanmu, maaf. Maafkan aku Jimin sayang."

Jimin bergeming, ia tidak menyangkal jika pelukan pria di hadapannya begitu hangat. Karena sejujurnya ia juga merindukan seorang Kim Taehyung. Tangan pendeknya terulur memeluk pria yang lebih besar, terisak dengan begitu ketara tanpa tanpa di tahan-tahan. Jimin seperti mencurahkan sakit hati, kebimbangan dan ketakutan dalam satu tarikan napas. Ia rapuh.

"tak apa, aku ada disini Jiminie." ucapnya pelan, mengundang tangisan yang lebih kencang.

"t-tae hikss, aku merindukanmu." Jimin semakin terisak, ia pasrah saat tubuhnya di angkat dan diletakan di atas sofa. Membiarkan tangan besar membelai pipinya guna menghapus air mata.

"aku akan menjadi ayahnya." ujarnya sambil membelai perut si mungil yang masih rata, Jimin menengang. Ia ingin menyangkal namun lidahnya terasa begitu kelu, pria yang tidak seharusnya mengucapkan kalimat bodoh karena sudah di campakkan. Jimin menggeleng pelan, ia merasa tidak adil untuk seorang Kim Taehyung bertanggung jawab atas apa yang tidak di lakukan. Bagaimapun Jimin akan menuntut pertanggung jawaban pada ayah asli dari bayi yang di kandungnya, tidak peduli pria itu menolak atau tidak mengakui. Jimin hanya tidak ingin anaknya berburuk sangka bahkan sampai membenci kedua orang tuanya.

Itu artinya ia akan menunggu pria itu kembali, bahkan hanya untuk mengatakan "kau punya anak bocah bajingan."

Tidak masalah Jungkook mencampakkannya, tapi setidaknya ia mengakui anaknya. Ia tidak ingin hal yang menimpa Jungkook juga menimpa anak yang di kandungnya.

"setidaknya aku akan bertanggung jawab sampai pria brengsek itu menyelesaikan pendidikannya, dan setelah ia kembali biarlah ia menemui anaknya sebentar lalu aku akan membunuhnya Jiminie." ucap Taehyung pelan. Ia kembali merengkuh Jimin.

Pria mungil itu menyamankan diri dalam pelukan Taehyung, ia sedikitnya merasa tenang.

~~~••~~~

Terima kasih

A/N

Kalian tidak menyangka kaaan,
😳😳
Aku juga

By
Alieenbaikhati



HEARTBEAT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang