The Prolog

4.6K 326 22
                                    


Tidak ada yang menarik, sejujurnya. Namun, Jungkook masih tetap terpaku pada bentangan hampa langit biru. Mendengus geli, ingin rasanya menertawakan hidupnya yang kian hari kian memuakkan. Ia tidak mengerti dengan definisi dari kata 'mengalah' yang sering orangtuanya tanamkan dalam ingatan. Tapi, diam-diam Jungkook juga berharap bahwa selama ini yang telah dilakukannya mampu mengukir senyum bangga orangtuanya yang ditujukan untuk dirinya, bukan untuk oranglain.

Dulu, sewaktu kecil dan masih sangat rapuh, Jungkook pernah berharap agar waktu cepat berjalan supaya ia segera dewasa. Supaya ia mampu bertumpu pada pijakannya sendiri, supaya ia lebih bisa diandalkan dan tidak menyusahkan. Namun, dikala umurnya kini telah memasuki 17 tahun, dirinya justru semakin tidak berdaya.

Ingin rasanya menenggelamkan diri ke dasar lautan yang paling dalam, ketika wajah kecewa penuh airmata sang ibu kembali terpampang dalam ingatan. Yang sukses terus menyiksa dalam keterdiamannya. Hatinya terasa sakit, sangat sakit. Bahkan ketika silet  yang masih tak henti mengores tangannya semakin dalam, rasa sakit itu, tak mampu menyaingi rasa sakitnya bagian terdalam yang telah sangat rapuh bahkan sudah hancur, hatinya.

Bodoh. Seharusnya ia tidak perlu percaya pada mereka yang menatapnya penuh dengan rasa iba menyedihkan. Kalau saja ia tetap meredam lukanya dalam-dalam tanpa harus seorangpun tahu, pasti keadaan masih baik-baik saja. Orang-orang yang disayanginya tetap akan bahagia tanpa harus menjadi sedih karena ulahnya.

Seharusnya ia tetap berpura-pura saja.

Ternyata benar, menjadi orang lain itu lebih baik. Ah, bahkan Jungkook telah melupa seperti apa jati dirinya yang sebenar-benarnya.

"Memangnya ibu apakan dirimu, Jungkook?" Suara bergetar ibu masih terus  terngiang ditelinganya dan sukses semakin luarbiasa mengiris sakit dihati.

" -- kalau tidak senang pada ibu, terus terang saja. Jangan pula kamu malah bercerita yang tidak-tidak pada oranglain. Kamu menyakiti ibu, lagi. Ibu kecewa padamu, Jungkook"

"Tidak, bu" Jungkook menggeleng ribut, matanya menutup erat berharap ada satu butir airmata yang akan terjatuh. Namun, hatinya yang sudah teramat sakit membuatnya lupa bagaimana caranya menangis. "Jungkook sayang sekali dengan ibu, selamanya. Jungkook hanya senang buat ibu bahagia. Jangan menangis, bu. Jungkook memang anak yang bodoh. Seharusnya Jungkook harus tetap bungkam mulut, kan, bu?"

"Mereka itu mengarang cerita, mereka berbohong, Jungkook tidak pernah mengatakan pada mereka jika ibu sering menyiksa Jungkook. Rotan kecil hanya sebagian dari pelajaran supaya Jungkook tidak nakal. Supaya Jungkook bisa bersikap dewasa dan selalu mengalah pada kakak maupun adik."

Kata orang, semakin sering hati tergores dan terluka,maka orang tersebut akan semakin menjadi kebal dan semakin tegar pula. Tapi mengapa? Dirinya tidak mampu menghapus kesakitan itu, justru rasanya malah semakin mencabik-cabik.

Perih menjalar ketika benda tajam tersebut kembali mengores pergelangan tangannya semakin dalam. Jungkook mencoba menikmatinya rasa sakit yang tercipta. Ia sudah berada diambang batas pertahanannya.

Tatapan benci ayah serta kedua kakaknya juga tatapan polos adiknya yang senantiasa bergelayut pada kakinya disaat ia baru pulang sekolah kembali terngiang.

"Apa yang kau lakukan pada ibu?!"

"Minggir brengsek!"

"Kakak, jangan pernah berpikir untuk pergi. Nanti Jaeminie tidak punya pendongeng untuk tidur malam. Nanti tidak ada lagi yang bawakan Jaeminie lolipop. Pokoknya jangan tinggalkan Jaemin! Awas saja jika berani! Nanti Jaeminie lapor pada ayah, biar kakak kena marah."

Satu goresan lagi ia bubuhkan pada pergelangan tangannya. Pandangannya mulai mengabur serta pening yang semakin menjalar hampir merenggut kesadaran. Akibat efek dari menelan banyak pil berdosis tinggi yang tak lagi terhitung jumlahnya.

"Gyeom, aku pamit, ya." Katanya pada seseorang yang telah tersambung dari via telepon diseberang sana.

Tangannya bergetar dengan nafas yang mulai menburu "kupikir kemarin aku telah berhasil tidur selamanya. Ternyata pil antibiotik yang sering ku konsomsi dalam jangka panjang tidak berbahaya seperti yang mereka katakan. Lalu aku mencoba meminumnya sekaligus. Haha, aku menelan sepuluh kapsul. Ya, ya, aku tahu jelas itu takkan mampu membuatku berakhir. Itu hanya obat murahan, kau tahu itu."

Ia terkekeh menyedihkan. Cahayanya telah meredup total, "tapi yang kali ini sepertinya berhasil." Dengan tangan yang telah berlumuran darah dan hampir mati rasa, Jungkook menghapus liquid anyir yang baru saja keluar dari kedua lubang hidungnya.

"Aku memang tidak tahu bersyukur sekali, ya. Diluar sana banyak orang berjuang demi bisa meraup udara lebih lama. Tapi disini, ak- aku, aku malah justru ingin lenyap. Bahkan masih ada yang punya beban lebih berat. Mungkin yang kualami sekarang tidak ada apa-apanya dengan mereka."

"Tidak, tidak. Aku memang sedari awal tidak seharusnya hidup. Gyeom, setelah ini kau harus jadi kuat. Ternyata detik-detik terakhir itu tidak menyenangkan. Rasanya sakit, sangat. Kau harus berpikir dua kali untuk mengikuti jejakku. Setidaknya, jadilah manusia yang bisa diandalkan untuk manusia yang lainnya walau disaat keluarga kita sendiri menganggap kita bukan apa-apa dan tidak berguna."

"Jangan sepertiku." Katanya lirih, Jungkook tersenyum pahit untuk yang terakhir kalinya. Disaat pandangannya hampir sepenuhnya menggelap. Aksara yang terlontar dari bibir sang ibu kembali terngiang  seperti melodi pengantar tidur yang terdengar begitu menyakitkan. membuatnya seakan dihempaskan pada Jurang yang paling dalam. Aksara yang mampu mengoyak-ngoyak hatinya hingga hancur berkeping-keping.

"Sedari awal, kau memang anak yang tak diinginkan oleh siapapun. Kau adalah anak yang ingin kugugurkan saat masih dalam kandungan. Jadi, jangan pernah berharap kau akan mendapat porsi yang sama dengan saudaramu yang lainnya."






     PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang