🍼 53 : Selamat Jalan 🍼 (TAMAT)

4.6K 316 62
                                    

SETAHUN KEMUDIAN...

TITI POV

Akhirnya setelah setahun, hati Chocho luluh juga.  Dia mau menemui Mommy, di rumah sakit.  Yah, penyakit Mommy semakin kronis, dia sedang kritis dan ingin bertemu Chocho di penghujung hidupnya.  Meski bersedia datang, Chocho masih terlihat enggan.

“Haruskah kita kemari?” tanya sembari menggigit kuku tangannya. 

Aku menghela napas panjang.  Ini ketiga kalinya dia bertanya hal yang sama padaku.  “Hanya sekali, temui dia sebentar Chocho.  Please..”

Aku memohon padanya bukan hanya sekedar demi Mommy mertua, tapi demi Chocho.  Supaya di kemudian hari tak ada penyesalan dalam hatinya.

Chocho menghembuskan napas, seakan membuang sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.  “Baik, aku menurutimu Titi.  Demi Titi.”

Bukan demi aku, Chocho.  Lakukan saja demi dirimu,  tapi terserahlah kalau kamu mau memakaiku sebagai tamengmu.

Aku tersenyum lembut.  “Iya, Chocho.  Lakukan demi aku, juga demi Kevin.  Dia pasti ingin ayahnya berdamai dengan neneknya.”

Menyebut nama Kevin membuat mata Chocho berbinar bahagia.  Dia sangat mencintai Kevin, bayi kami yang berusia setengah tahun.  Kevin kami sangat tampan, dia mirip sekali dengan ayahnya.  Wajahnya jiplakan Chocho.

“Titi, Chocho, kalian datang juga?”  seseorang menyapa kami dengan ramah.

Dia Gladhys, yang datang bertiga.  Dia bersama Kak Xander, yang tengah mendorong trolley bayi mereka..

“Ya, kami baru datang.  Dia putri kalian?  Wow, cantiknya,” kataku memuji.

Bayi mereka sangat manis dan ceria.  Wajahnya perpaduan antara wajah Gladhys dan Kak Xander.  Mereka nampak seperti gambaran keluarga muda yang bahagia.

“Namanya Xania.  Ohya, anak kalian pasti sebaya dengan Xania.  Dimana dia?” tanya Gladhys sembari melihat ke sekeliling kami.

“Putra kami bernama Kevin, karena dia masih terlalu kecil dan sedang rewel karena kurang tidur, kami tak membawanya kemari.”

“Suatu saat kita harus menemukan kedua anak kita, supaya mereka bisa mengenal sepupunya dengan baik.  Lalu...”

Kak Xander berdeham untuk memberi kode pada istrinya.
“Gladhys, kita harus segera menemui Mommy.  Pasti dia sudah tak sabar ingin menemui Chocho.”

Sedari tadi Chocho tak mau bertatapan langsung dengan kakaknya, dia berpura-pura asik melihat sesuatu di lobi rumah sakit.  Mungkin dia masih rikuh berhubungan baik dengan Kak Xander yang pernah menjadi ajang balas dendamnya.

“Chocho, ayo kita masuk.”  Aku menggandeng tangan Chocho, mengajaknya mengikuti Kak Xander dan Gladhys yang sudah berjalan duluan.

Kami sampai di ruang tunggu ICU.  Dari balik kaca ICU aku melihat kondisi Mommy,  dia nampak sangat berbeda dengan terakhir kami melihatnya.  Mommy jauh lebih kurus, pucat dan tak ada gairah hidup.  Auranya beda, dia seperti lilin yang akan redup.  Mungkin Chocho juga menangkap hal yang sama denganku, dia termangu menatap Mommy-nya.

“Temuilah dia,” ucap Kak Xander lirih, pada adiknya.

Chocho menanggapinya tanpa mengalihkan tatapannya dari Mommy, “aku belum siap.  Beri aku waktu.”

Dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya.  Untung Kak Xander mau mengerti, dia memutuskan menemui Mommy terlebih dahulu.  Aku membiarkan Chocho merenung sendiri, kutepuk bahunya lembut sebelum berjalan mendekati Gladhys dan bayinya.

“Dia manis sekali,” kataku mengawali pembicaraan kami.

Seperti ibu-ibu lainnya, Gladhys nampak sumringah ketika ada yang memuji bayinya. 

“Terima kasih, Xania memang bayi yang menggemaskan.  Daddy-nya adalah penggemar fanatiknya.”

“Bisa kulihat.  Kak Xander pasti sangat protektif pada anaknya.”

“Iya,”  Gladhys tertawa geli dengan wajah berbinar penuh kebahagiaan.  “Sampai aku sering cemburu pada anakku sendiri.  Childsih ya?”

“Tidak, aku juga terkadang cemburu pada Kevin.  Tapi lebih sering Chocho yang cemburu padanya,” ucapku sambil terkekeh geli.

Kami tersenyum bersamaan, saling mentertawakan pengalaman masing-masing.  Kekakuan diantara kami melumer seketika.  Untuk pertama kalinya aku merasa dekat dengannya.  Ternyata Gladhys bisa menyenangkan juga.

“Dan kau tahu, saat pertama kalinya Xander menggendong anaknya.. dia tak berani bergerak sedikitpun karena saking khawatirnya kalau menjatuhkan baby Xania,”  Gladhys bercerita diiringi gelak tawanya.

“Ohya?  Beda sekali ya dengan Chocho, justru lebih luwes dia saat menggendong Kevin dibanding aku,” aku mengakuinya tanpa malu.

Gladhys melebarkan matanya takjub, dia memandang kearah Chocho yang masih berdiri terpaku didepan kaca pembatas ruang ICU.

“Dia sangat berbeda, entah bagaimana prosesnya... perubahan Chocho sangat ajaib,” cetus Gladhys kagum.

Perlukah kuceritakan semuanya?  Kurasa tak usah, biarlah itu menjadi kenangan tak terlupakan bagi kami.  Pengalaman yang sungguh memeras emosi dan airmata namun berhasil semakin meneguhkan cinta kami.

“Yah, itu keajaiban.  Keajaiban yang luar biasa!” timpalku bahagia.

“Tentu, siapa yang mengira Chocho yang dulu... begitu, sekarang begitu brilian nyaris seperti pria normal.   Bahkan dia bisa merebut saham perusahaan keluarga Edisson.”

“Maaf,” hal itu masih membuatku merasa tak enak.  “Chocho melakukannya karena terlalu sakit hati.  Sebenarnya dia bukan pria pendendam.  Tapi...”

“It’s okey, Titi.  Semua sudah berlalu.  Lagipula pada akhirnya Chocho memilih mengembalikan sahamnya pada kami, dan menunjuk Xander sebagai penerus di perusahaan Edisson corp.”

Sebelum kami pindah dari kota ini, Chocho telah membereskan beberapa hal yang disebutkan Gladhys tadi.  Aku amat mendukung tindakannya itu, mengingat kondisi Mommy.. tak layak jika kami menyusahkan keluarga mereka.  Ah, bukan keluarga mereka.. tapi keluarga kita.

Gladhys memelukku dengan erat, baru kali ini ia melakukannya.  Hatiku menghangat karenanya. 
“Titi, mari lupakan yang lalu.  Sekarang kita mulai lembaran baru.  Kita saudara kan?”

Aku mengangguk antusias.

  Senang rasanya memiliki keluarga selain keluarga inti kami.  Ada Gladhys dan Kak Xander, serasa punya kakak dan kakak ipar.  

“Apakah kau tak mau membujuk Chocho supaya mau menemui Mommy?  Xander sudah keluar, sekarang giliran Chocho yang masuk.” 

Ucapan Gladhys mendorongku menghampiri Chocho lagi.  Kutepuk bahu Chocho lembut dari belakang, dia menoleh dengan wajah galau.

“Sudah saatnya?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk, “iya, Chocho.  Temui dia, aku yakin Chocho bisa menghadapinya dengan baik.”

Chocho tersenyum, meski matanya nampak serius. 

Semoga pertemuan mereka bisa menyelesaikan perselisihan yang ada sebelum ini.

==== >(*~*)< ====

CHOCHO POV

Terasa dingin didalam ruang ICU, sedingin hatiku sebelum masuk kedalam sini.  Namun begitu melihat kondisi Mommy, hatiku porak poranda.  Dia kurus, lesu, pucat, kuyu, dan tak nampak sinar kehidupan dalam dirinya. 

Selang-selang yang ada di lengannya menambah miris penampilannya.

Aku gamang berhadapan dengannya.  Aku merasa waktunya telah ‘tiba’.  Ingin rasanya melarikan diri, supaya itu tak terjadi.  Aku tahu Mommy menungguku sebelum ‘pergi’.  Kalau aku tak menemuinya, mungkin bisa mencegah kepergiannya. 

Pengertian itu yang membuat dibawah alam sadar aku menghindarinya.  Seperti yang kulakukan selama setahun ini.

Kini aku tak bisa menghindar lagi.  Aku harus menghadapinya.  Dengan langkah gontai aku mendekati ranjang Mommy.  Dia membuka matanya begitu aku berada didepannya.

“Keanu..” panggilnya dengan suara nyaris tak terdengar.  Tangannya terulur menggapai kearahku.

Aku bimbang.  Haruskah aku menerimanya?  Aku takut tak bisa melepasnya begitu mengenggamnya. 

“Mommy memang tak layak,” gumam Mom lemah. 

Tangannya terkulai, sebelum luruh aku menangkapnya.  Kugenggam untuk memberinya kekuatan.  Dia terkejut menatapku.

“Keanu, apa kau sudah memaafkan Mommy?”

Aku diam saja, karena aku bingung harus menjawab seperti apa.  Perasaanku campur aduk tak karuan.  Mommy nampak kecewa, mungkin dia menarik kesimpulan sendiri bahwa aku tak mau memaafkannya.

“Mommy memang tak layak dimaafkan, kamu sudah benar.  Salahkan Mommy karena terlalu banyak menyakitimu.  Mommy jahat sekali.. Mommy....”

Dia mendesah pelan, lalu mengernyit menahan sakit.  Ya Tuhan, apa saatnya telah dekat?  Mengapa aku masih ragu?!

“Aku memaafkanmu, Mommy..”

Akhirnya keluar juga apa yang kupendam dalam hati dan harus kuungkapkan sebelum terlambat.  Mata Mommy nampak berkaca-kaca, penuh haru.  Kurasa dia sudah lama menunggu permintaan-maafanku.

“Terima ka...sih.  Mommy le...ga..”

Mommy tersenyum sebelum memejamkan matanya.   Untuk selamanya, karena setelah itu tanda vital kehidupan Mommy mendadak drop.  Aku terpaku melihat grafik datar di layar monitor alat penunjang kehidupannya.

“Astaga, Nyonya Rebecca kritis.  Tuan, silahkan keluar.  Kami harus segera mengambil tindakan medis.”  Seorang suster memintaku keluar dari ruang ICU.

Aku melangkah keluar dengan langkah tertatih, berat rasanya meninggalkannya.  Karena aku tahu, itu terakhir kalinya aku melihat Mommy.

Selamat jalan, Mommy...

==== >(*~*)< ====   

Tamat.

Hai gaess.

My Baby sudah tamat ya untuk versi Wattpad.
Thanks buat kalian yang setia mengikuti dari awal sampai akhir.

Maaf kalau updatenya lama.

Yang penting sudah kutamatkan sesuai janjiku.

Sampai bertemu di cerita lain

Love you all..

24. My Baby (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang