PEMBALASAN

2.7K 169 5
                                    

Damar benar-benar sedih kehilangan sahabatnya. Disisi lain, serangan-serangan ghaib kini mulai mengincar ia dan keluarganya. Untunglah Damar sudah mengantisipasi hal tersebut setelah Malik memperingatkannya. Damar memperkuat pagar ghaib keluarga dan rumahnya.

Bahkan ia mewanti-wanti istrinya, agar tidak menerima makanan atau pemberian apapun dari siapa saja. Sementara itu Damar berusaha mencari jalan keluar, bagaimana menghadapi mbah Darso meski harus seorang diri.

Pagi hari di kediaman Damar. Sederhana, rapi nan asri dengan berbagai jenis bunga dan tanaman yang menghiasi. Kicau burung dimasing-masing sangkar digantung berjejer. Duduk di teras rumahnya adalah terapi. Bisa dipastikan siapapun betah berlama-lama di sana termasuk pemiliknya sendiri. Damar masih termangu menikmati lamunannya. Kopi dan rengginang masih utuh hingga dingin pun belum tersentuh. Setidaknya itu yang dilihat orang-orang yang melewati. Tidak, ia tidak melamun.

Hanya sedang berdiskusi dengan sesuatu tak kasat mata yang mendiami tubuhnya.

" Mas?"

Damar menoleh "Ya dik?"

"Lintang demam." Ujar sang istri

"Sejak kapan?"

"Tadi sebelum shubuh. Dan dia mengingau. Terus menerus menyebut bola api."

Damar pun beranjak dari posisi dan segera menuju ke kamar si anak. Saat mencapai pintu kamar, ia melihat Lintang masih terpejam hanya saja bibir kecilnya menggumam sesuatu. Damar pun mendekatkan telinga.

"Dik, tolong ambilkan air dan petik daun bidara dari halaman depan." Perintah Damar pada sang istri yang berdiri di dekatnya.

Sang istri yang tampak mengerti bergegas meninggalkan kamar. Tak lama kemudian, Diah datang membawa baskom kayu berisi air dengan beberapa helai daun yang sudah mengambang diatasnya. Bibir Damar bergerak-gerak melafalkan doa, lalu meniupkannya di dalam air baskom.

"Bismillahirrohmanirrohiim."

Damar mencelupkan tangan dan mengusapkannya diseluruh tubuh sang anak. Tak lama kemudian Lintang berhenti bergumam.

"Kalau lintang sudah sadar, minumkan air ini padanya. Jangan khawatir, demamnya akan segera turun."

Diah mengangguk lega.

Damar sekilas menarik napas. Ingatannya menjelajah tadi malam. Semalam ia memang mendengar sesuatu menghantam keras di atas atap rumahnya.

Untunglah tidak menembus ke dalam, karena memang sudah dipagari. Hanya saja pagar ghaib yang dipasang sedikit rusak.

Lintang anaknya memiliki kemampuan lebih seperti Nilam. Ada seorang khadam yang juga menjaganya, tapi bukan Damar yang menurunkan.

Mungkin itu sebabnya, Lintang sangat sensitif dan sedikit terkena imbas dari serangan yang datang.

Tiga hari kemudian...

"Dik, aku ada perlu. Aku minta jangan mengganggu sampai aku keluar kamar. Dan tolak siapapun yang ingin menemuiku nanti."

Lagi-lagi Diah yang mengerti membalas dengan anggukan.

"Baik mas."

Tak lama kemudian terdengar suara pintu tertutup tak jauh dari sana.

Damar mengurung diri seharian di kamar. Tanpa makan dan minum. Kalau pun keluar, itu pun hanya waktu-waktu shalat saja. Sekedar mengambil wudhu. Lebih tepatnya, Damar melakukan tirakad wirid untuk meminta petunjuk.

Hingga malam kembali datang. Damar mendapati sebuah mimpi.

Almarhum gurunya mendatanginya. Kala itu Kyai Bustomi yang mengenakan jubah putih meminta Damar untuk mendekatinya. Matanya yang teduh memandang lekat mata sang murid. Kyai Bustomi memang tak mengatakan apapun, tapi mereka saling bicara melalui isi pikiran masing-masing.

TEROR TUKANG SANTET - TAMAT (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang