Kazuki Dhammac

7 1 0
                                    

Satu minggu berlalu sejak aku meninggalkan tanah Papua yang damai dan tentram, berbanding terbalik dengan kota tempat asalku berada, Jakarta. sebuah kota metropolitan sekaligus jantung sentral Nusantara. Pesatnya pertumbuhan ekonomi serta hiruk pikuknya keramaian kota, seakan menjadi saksi bisu perjalanan hidupku. Sesaknya kemancetan yang menebar di segala penjuru, merupakan hal biasa bagi gadis muda sepertiku.

Memiliki paman yang bekerja sebagai kontraktor tambang batu bara di Kutai Timur, membuat kehidupanku dan kakakku serba berkecukupan. Semenjak kepergian kedua orangtuaku, beliaulah yang bertanggung jawab atas biaya kebutuhan kami. Namun, kudengar usahanya kini makin melemah dengan adanya campur tangan asing.

Lelah akan ketergantungan dan keinginan kuat untuk mandiri, membuatku berinisiatif untuk mencari sebuah tempat tinggal baru. Aku menyewa sebuah rumah di daerah Agra Sanpaku di Sahari Utara. Milik seorang janda yang belum lama kehilangan suaminya, dikarenakan sebuah insiden kecelakaan. Sebenarnya saudaraku berulang kali mencegah kepergianku, tapi dia pun akhirnya menyerah menghadapi sifat egois dan keras kepala yang kumiliki.

Sebuah rumah kecil yang mempunyai halaman yang cukup luas, dengan pohon mangga yang menjulang tinggi di bagian depannya. Di samping kanan kiri dikelilingi bangunan besar, yang sepertinya milik orang kaya di kompleks ini. Mempunyai dua kamar, ruang tamu, dapur, serta kamar mandi yang cukup bersih. Harga sewanya yang bawah rata-rata pun, menjadi sebuah keberuntungan bagi orang biasa sepertiku.

Sebenarnya aku berniat membuka kegiatan praktek sambil meneruskan program spesialisku. Namun, karena kondisi keuangan yang labil, aku pun mencoba melamar pekerjaan di sejumlah rumah sakit di daerahku.

Pada minggu kedua tepatnya di hari ketiga, aku pun mendapat sebuah keberuntungan dengan kesialan yang mengikutinya. Aku mendapat sepucuk surat panggilan kerja yang telah lama kunantikan, namun aku mendapat oleh-oleh yang keberadaannya benar-benar membahayakan kondisi tubuhku.

Sebuah pemberian alam saat aku bertugas di daerah papua, yakni penyakit malaria. Awalnya aku mengira hanya terkena demam biasa. Namun, beberapa hari kemudian muncul gejala-gejala penyakit tersebut. Mulai dari muntah, diare, hingga jaundice pada kulitku. Aku pun dengan segera melakukan tes antigen, dan benar ada parasit plasmodium di dalam pembuluh darahku.

Aku pun akhirnya memenuhi panggilan tersebut bukan sebagai dokter, namun sebagai seorang pasien. Sebuah kejadian yang menggelikan yang sangat fatal akibatnya. Untungnya pihak rumah sakit masih mau menerima keadaanku, sebab mereka memberitahukanku sebuah alasan yang membuatku terhenyak. Kepala suku di pedalaman Papua yang pernah ku temui, ternyata memiliki saudara yang merupakan direktur di rumah sakit tempatku bekerja.

Selama berminggu-minggu aku berjuang melewati kondisi kritis, hingga akhirnya bisa lolos dari maut. Karena lemahnya kondisi tubuhku, para dokter menyuruhku untuk istirahat sejenak sampai keadaanku benar-benar pulih.

Suatu hari saat otakku sedang menerawang jauh didalam pikiranku. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang membangunkanku dari lamunan.

"Masuk saja!" seruku.

Terlihat dari mulut pintu seorang pria jangkung bermata hitam kelam, dengan gayanya yang kasual. Sebuah tatapan kosong yang seakan menyelimuti ruangan yang sedang kutempati. Di lihat dari pakaian dan kemoceng ditangannya, sepertinya dia adalah seorang petugas kebersihan.

Perlahan dia masuk dan mulai membenahi peralatan medis di sudut ruangan. Dari gerakan tubuh serta pandangan matanya, dapat kusimpulkan bahwa dia orang yang teliti dan cekatan, serta cukup tegas dari bentuk dagunya. Aku dulu pernah belajar sedikit tentang psikologi kepribadian, sehingga punya kebiasaan membaca sifat dan karakter seseorang yang berada disekitarku. Dengan senyum puas, aku memberi ucapan selamat pada diriku sendiri.

Kembalinya Sang DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang