Mata Rantai Yang Hilang

7 0 0
                                    

Hembusan angin yang lirih seolah semakin dingin. Tampak langit yang mulai tertutup awan, saat itu aku baru tersadar bahwa hari sudah mulai gelap. Semua terlihat samar, namun warna jingga senja membuat langit terlihat begitu indah.

Sementara Kazuki pergi ke tempat kejadian, aku menayakan biodata korban secara detail kepada Inspektur terlebih dahulu, untuk membantu proses penyelidikan yang akan segera kami lakukan. Dengan sebuah taksi, aku bergegas pergi menuju ke tempat tinggal korban pertama yang berada di Perumahan Regency. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk bisa sampai ke daerah tersebut.

Tampak olehku dari kejauhan, rumah tersebut masih di selimuti suasana berkabung atas kepergian seseorang. Beberapa papan bunga terlihat berjejer rapi memenuhi halaman kediaman. Pandanganku tertuju pada wanita paruh baya, yang sedang sibuk memebersihkan halamannya. Dengan sapu lidi dan pengki di tangannya, dia terus melanjutkan pekerjaanya, menghiraukan keberadaanku yang telah berada di depan pintu gerbang beberapa saat yang lalu.

"Permisi Ibu, apakah ini benar tempat tinggal mendiang saudari Kisanti Adelia?" tanyaku pelan.

Wanita tersebut tiba-tiba langsung mengentikan kegiatannya, lalu dengan sorot mata tajam dia memandangku sebentar kemudian bergegas pergi meninggalkanku.

"Tunggu sebentar Ibu!" cegahku cepat.

"Hanya orang tua bodoh yang ingin membicarakan kematian putrinya, pada seorang wartawan yang bekerja hanya demi kepopularitas dan rating semata," jawabnya cetus.

"Maaf, aku bukan seorang reporter media. Kedatanganku kesini untuk membantu pihak polisi dalam menyelidiki kasus yang telah terjadi," jelasku.

Langkahnya terenti sejenak ketika mendengar perkataanku barusan.

"Kurasa kemarin aku sudah memberitahukan semua yang kutahu pada polisi. Toh, aku juga tidak bisa memberikan info kehidupan pribadi kami pada orang asing sepertimu."

Aku sudah mengira bahwa dia akan meminta sebuah bukti dalam proses investigasi. Beruntungnya, kami berdua sebelumnya sudah diberikan lembar lisensi oleh Inspektur Mathori dari kepolisian pusat. Aku lalu memberikan surat tersebut padanya, sehingga dia pun akhirnya mempercayai perkataanku.

"Baiklah, kau boleh masuk ke dalam, aku akan menjelaskannya disana!" perintahnya.

Aku pun menganggukkan kepala lalu berjalan menuju ke dalam ruangan. Di dalam terdapat beberapa foto seorang gadis yang sepertinya adalah milik korban.

"Dia adalah anak semata wayangku. Kami tinggal berdua setelah meninggalnya mendiang ayahnya, dulu dia adalah seorang prajurit negara. Beliau gugur dalam sebuah misi saat Adelia masih berusia 5 tahun," ucapnya sambil memegang bingkai album tersebut.

"Jadi hal apa yang ingin kau ketahui?" tanyanya.

"Saya ingin tahu tentang kepribadian dan keseharian dari Adelia?"

"Dia dulunya adalah seorang gadis yang periang dan ceria. Mempunyai teman dan sering keluar bermain bersama. Sama umumnya seperti kebanyakan gadis pada umumnya. Hari-hari seperti itu terus berlanjut sampai dengan kenaikannya pada saat masuk SMA. Pertengahan semester dia seringkali bercerita padaku tentang seorang pria yang di sukainya, sampai akhirnya mereka jadian. Curhatan dan keluh kesah yang kudengarkan, seolah sudah menjadi kebiasaan kami pada saat acara makan malam sedang berlangsung."

"Namun, suatu hari ketika setelah pulang sekolah Adelia terlihat sedang kesal, sambil mengusap mata merahnya yang di sebabkan oleh tangisan. Aku bertanya tentang perihal keadaannya. Namun, dia sama sekali tidak menghiraukanku dan langsung saja masuk ke dalam kamarnya. Keadaan lalu terus berlanjut seperti itu, setiap pertemuan kami yang ada hanyalah kehampaan dan kekosongan. Aku menduga penyebabnya adalah masalah asmara antara dia dengan kekasihnya."

Kembalinya Sang DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang