Puncak Kesenangan

2 0 0
                                    

Suasana langit menangis pilu, awan yang mulanya biru menjadi kegelapan suram. Seolah mengeluarkan beban penderitaan terdalam. Disertai suara gemuruh petir pemecah jiwa. Menjatuhkan butiran lembut yang membasahi dedaunan hijau. Namun, bisa juga menghancurkan batuan kokoh pegunungan.

Angin mulai berdesir menderuh jauh ke dalam tubuh, hawa dingin melebur menyergap tubuh, merambah mencari celah, menarik penasaran dalam perasaan. Seakan mengembalikan puing-puing kenangan, yang dulu tersimpat rapat dalam kelamnya ingatan. Menjadikannya secercah cahaya akan datangnya sebuah harapan di masa yang akan datang.

Kesendirian suasana menemani kegundahan dan kejenuhan rasa, yang terus menerus muncul tak terheti. Mengabaikan keteguhan hati ini, meracuni kesucian pikiran, mengkikis sedikit-sedikit jumlah ambisi kehidupan. Aku seorang dini termenung, berdiri menyandarkan kepala kecilku pada daun jendela kamarku. Dengan tatapan kekosongan berusaha memikirkan buah akibat, dari tindakan kami sewaktu di Ciaruas, sebuah daerah yang kebanyakan orang Timur Tengah menyebutnya dengan gunung surga. Sebuah tempat yang ternyata mempunyai sisi gelap dibalik keindahanan destinasi alamnya.

Entah kenapa perasaanku seolah merasakan bahaya sedang mengancam nyawa kami. Aku sadar bahwa lawan kami bukanlah seorang penjahat amatiran, yang akan selesai kala kasus tersebut usai. Melainkan, sebuah organisasi kriminal berskala besar yang menjadi induk bagi kesetimbangan hukum dunia bawah. Tindakan kami yang merusak keteraturannya pasti membuat orang normal sepertiku merasa khawatir, akan teror yang nantinya mungkin akan kami rasakan. Namun, sepertinya untuk saat ini aku harus menenangkan pikiran sejenak dan yakin kalau nanti semuanya akan baik-baik saja.

Berhubung sudah waktunya, aku kemudian pergi ke tempat perjamuan. Di pintu masuk ruangannnya terdapat tulisan "Ghurfat almutiea" yang berarti ruang kesenangan. Tempat tersebut dipenuhi kaligrafi dan kesenian arab di samping kanannya. Sebuah ruang makan yang terdapat meja kaca besar yang menjulur panjang memenuhi isi ruangan. Tampaknya para pengunjung telah menempati tempat duduk mereka masing-masing, mereka tampaknya telah lama menunggu kedatanganku. Memang tempat ini punya tradisi untuk melakukan kegiatan makan bersama. Dengan rasa malu, aku segera menempati tempat duduk yang telah disiapakan.

"Tuan Elwin, apakah Elva tidak ikut makan malam bersama dengan kita?" tanyaku.

"Aku tadi memanggilnya berulang kali dari luar kamarnya. Namun, tidak ada suara dan respon darinya. Mungkin, dia sudah tertidur lelap setelah perjalanan panjang sebelumnya," jawabnya.

"Sayang sekali dia tidak bersama kita"

"Aduh," ucapku saat tubuhku terjatuh. Rupanya Kazuki secara iseng menarik kursi yang ingin aku duduki.

"Kau ini jahil sekali!"

"Maaf, tanganku secara reflek ingin melakukannya," jawabnya datar.

"Terserah"

Aku kemudian duduk lagi sambil berhati-hati. Amarahku berlahan lenyap ketika melihat pemandangan yang ada di atas meja makan. Deretan stand makanan berjejer rapi di setiap sisi. Mulai dari nasi kebuli, mandhi, briyani, roti maryam, roti khamir, kebab, sabosa, basija, shawarma, fatira, foul, dan tamis. Sedangkan untuk minumannya Kopi arab, naknak, pokak, sahlab, dan qishr. Lantunan musik khas timur tengah semakin membuat suasana sentra semakin nyaman. Sang pelayan pun dengan memakai jubah dan sorban, siap melayani segala kebutuhan kami.aku pun segera menyantap hidangan yang telah disediakan.

"Bagaimana Tuan dan Nyonya mengenai masakannya?" tanya Tuan Elwin.

Semua orang terlihat menganggukkan kepala puas.

"Kazuki, bisa minta tolong untuk mengambilkan buah apel yang ada di samping kananmu?"

Dia pun dengan acuhnya mengambil mengambilnya dari sebuah keranjang, yang terbuat dari anyaman bambu.

Kembalinya Sang DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang