T A N D A T A N Y A

24 6 2
                                    

"Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".

Sebuah peribahasa yang saya yakin banyak orang mengetahuinya sejak dulu, sejak masa kecilnya di sekolah dasar. Maknanya memang tak seberapa rumit, yakni dimanapun kita berada kita harus mengikuti aturan dan budaya yang berlaku di tempat itu. Banyak pesan yang ingin disampaikan melalui peribahasa itu, mulai dari toleransi, adaptasi, dan cara bersosialisasi.
Toleransi, menghargai perbedaan budaya yang ada.
Adaptasi, menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya yang ada.
Cara bersosialisasi, untuk bisa diterima di suatu kelompok masyarakat baru kita harus toleransi dan adaptasi dengan budaya masyarakat tersebut.

Terdengar sederhana, tapi pada nyatanya hal itu agak sulit diterapkan untuk sebagian orang karena ada beberapa budaya atau aturan masyarakat yang mungkin bukan hanya berbeda tapi bahkan bertolah belakang dengan budaya orang tersebut. Hal itu mendorong orang-orang di suatu kawasan tertentu (biasanya di kawasan perkotaan yaang terdapat banyak pendatang). Misalnya saja Kampung Melayu di Jakarta. Bisa jadi tempat itu disebut dengan Kampung Melayu karena dulu banyak orang Melayu yang datang ke Jakarta tinggal di kawasan itu, membentuk kelompok. Dimana masing-masing individu ingin mendekatkan diri dengan individu-individu lain yang memiliki identitas budaya yang sama dengannya.

Di bahasan kali ini, saya ingin mengulik lebih dalam lagi mengenai peribahasa tersebut di kehidupan nyata.

Beberapa waktu ini saya sering mendapat curhatan dari beberapa kawan bahwa mereka bingung dan kadang jengkel karena orang tuanya membandingkannya dengan orang lain. Lelah karena diuntut ini itu karena usianya yang sudah sekian maka dia seharusnya sudah seperti ini. Kadang ada pertanyaan-pertanyaan yang juga ditanyakan terus menerus padahal itu terkait dengan sesuatu yang porsi dan waktunya benar-benar ditentukan oleh Allah SWT. Bukan seperti ujian, yang kalau banyak menjawab benar nilainya pasti bagus. Tak jarang juga, perkataan atau pertanyaan dari orang lain menjadi bahan bakar yang semakin membuat suasana hati seseorang yang mendengarnya akan terasa buruk seharian. Semua hal itu akhirnya bermuara pada satu hal yang sekarang sedang banyak dibahas orang, yaitu overthinking.

Ketika mendapat curhatan-curhatan itu saya juga berpikir dan menelaah diri saya. Oh! Ternyata saya pun mengalami hal yang sama. Hanya saja mungkin efek yang saya rasakan berbeda dengan yang dialami kawan-kawan saya.

Menurut saya, umur 20-25 tahun menurut saya merupakan fase kritis dalam kehidupan seseorang. Karena di umur ini merupakan transisi dari fase remaja menuju ke fase dewasa. Eits! Menurut BKKBN, umur remaja itu sampai umur 24 tahun. Jadi, kemungkinan orang-orang yang ada di kisaran umur ini menghadapi hal yang kurang lebih sama. Pertanyaan yang diajukan kepadanya pun kurang lebih sama. Pekerjaan dan rencana pernikahan.

Kalau ditilik lebih dalam lagi, sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu biasa. Pada dasarnya hidup manusia sebenarnya juga monoton. Kalau masih sekolah akan sering mendapat pertanyaan sekolah dimana, kelas berapa, kadang-kadang orang juga dengan tak tau malunya menanyakan nilai sekolah kita. Kadang lebih parahnya membandingkan dengan seseorang yang dikenalnya. Kalau masih kuliah, pertanyaan yang tak pernah lekang oleh waktu: kuliah dimana, semester berapa, lulus kapan. Kalau sudah lulus sekolah atau kuliah, pertanyaan umum: sudah kerja atau belum, kerja dimana, jadi apa. Kalau sudah punya pekerjaan dan ada di fase umur 20-25 tahun, pertanyaan yang sering mampir ditelinga adalah calonnya mana. Kalau sudah menikah, banyak yang akan menanyakan kapan punya anak. Kalau sudah punya satu anak, akan ditanya kapan nambah momongan. Kalau anaknya sudah sekolah, pertanyaan yang sama seperti yang sudah pernah didapatnya dulu dengan sedikit modifikasi: anaknya sekolah dimana. Dan begitu seterusnya siklus yang sama akan terus terulang.

See! Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu sudah biasa kita terima sejak dulu. Mungkin kita sudah di training selama kurang lebih 10 tahun terhitung sejak masuk SMP, tapi mengapa justru semakin dewasa kita bukannya semakin kebal tetapi malah semakin sensitif dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Sebenarnya apa yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan monoton itu?

Kembali ke peribahasa. Adanya aturan sosial, adanya budaya pada akhirnya melahirkan  tatanan sosial. Layaknya sebuah aturan pada umumnya, aturan sosial juga memiliki standar yang menjadi ukuran akan suatu hal meskipun tak tertulis. Seperti halnya standar kebenaran dalam berlalu lintas bahwa pengendara sepeda motor harus mengenakan helm sesuai standar, kalau tidak melaksanakannya berarti dia bersalah. Pembanding sebagai ukuran kebenaran adalah aturan tertulis tentang kewajiban memakai helm bagi pengendara bermotor roda dua. Dalam kehidupan sosial masyarakat, pembanding yang ada bukanlah sesuatu yang secara pasti disepakati dan ditulis seperti aturan berkendara. Tapi hal-hal yang biasa terjadi dan dialami banyak orang sebelum-sebelumnya lambat laun akan menjadi sebuah standar tak tertulis bagi masyarakatnya. Oleh karenanya setelah pertanyaan-pertanyaan monoton itu kita terima, tak sedikit yang mulai membandingkan kondisi si "terdakwa" dengan orang lain yang seringnya saat itu berada di kondisi yang lebih baik.

Setelah berpikir selama berhari-hari, saya juga menyadari bahwa ternyata saya hidup dalam standar itu. Berusaha sekolah di tempat yang bagus, berusaha kuliah di perguruan tinggi yang bagus, berusaha mencari pekerjaan yang bagus. Akhirnya saya mulai menggali lebih dalam lagi. Bahwa ternyata standar-standar itulah yang membentuk seseorang menjadi dia saat ini, seperti yang saya alami. Saya jadi ingat materi pelajaran biologi jaman SMP tentang DNA yang bagi saya lebih terdengar seperti sosiologi, bahwa dalam perkembangan makhluk hidup terutama manusia, faktor fenotif (lingkungan) akan lebih berpengaruh daripada faktor genotif (keturunan).

Berangkat dari kesadaran itu, saya mulai berpikir sebenarnya apa yang benar-benar ingin saya lakukan di hidup saya, apa yang benar-benar bisa membuat saya bahagia, dan apa yang menjadi tujuan hidup saya yang sebenarnya.

Ternyata jawabannya sederhana. Mimpi dan tujuan hidup saya sederhana. Bukan seperti yang di "standar" kan orang-orang.

Satu hal pasti yang saya sadari, bahwa standar kebahagiaan saya tidak boleh ditentukan oleh orang lain. Pekerjaan yang saya inginkan, kapan saya menikah, bagaimana saya menjalani hidup. Itu semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang sudah seharusnya datang dari diri sendiri dan bena-benar dijawab oleh diri sendiri. Mulai dari situ juga, saya semakin bisa memahami diri saya dengan lebih baik lagi. Berusaha untuk lebih sering mendengarkan apa yang ingin diri saya katakan.

Mungkin karena terlalu sering mendengar suara orang lain, suaranya sendiri tertutupi oleh suara-suara orang lain. Mungkin karena terlalu sering mendengar pertanyaan-pertanyaan dari orang, membuat seseorang lupa untuk bertanya pada dirinya sendiri.

Lebih dari pada itu, dibutuhkan sebuah keberanian. Keberanian untuk jujur pada diri sendiri, keberanian untuk jujur kepada orang lain, keberanian untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang datang silih berganti.

Satu hal yang tak kalah penting adalah respon. Apapun input yang datang dari luar, bagaimanapun bentuknya tidak akan berpengaruh terhadap output yang dihasilkan. Karena diantara input dan output terdapat respon dan proses di tengah-tengahnya. Seberapapun buruk, seberapapun menyakitkan sebuah keadaan atau sederhananya pertanyaan yang datang dari luar, jika kita bisa merespon menangkapnya sebagai suatu hal yang positif dan meresponnya dengan positif maka hasilnya pun akan positif.

Jadi, sudahkah kita benar-benar menjalin komunikasi yang baik dengan diri sendiri?
Sudahkah kita menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memang sudah seharusnya kita tanyakan pada diri sendiri?
Apakah aku bahagia? Apakah ini benar-benar yang aku inginkan?
Sudahkah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur, benar-benar dari hati yang terdalam?
Sudahkah kita berani untuk jujur?
Jujur pada diri sendiri, jujur pada orang lain
Sudahkah kita mulai berani untuk mengekspresikan diri kita yang sebenarnya?
Sudahkah kita mulai belajar untuk berdamai dengan keadaan?
Sudahkah kita berani menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang datang?
Sudahkah kita berupaya memberikan respon positif pada pertanyaan-pertanyaan itu?

Karena hidup adalah keberanian untuk menghadapi tanda tanya.

07.08.2020

Vita's Journal: What I Thought TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang