S H E R L O C K

50 8 1
                                    

Salah satu bacaan paling menarik untuk saya adalah Sherlock Holmes, karya Sir Arthur Conan Doyle. Karya sastra klasik dengan banyak penggemar di seluruh dunia hingga saat ini. Menurut saya, Sherlock adalah sebuah fenomena. Adventure, mistery, thriller, romance, friendship, bromance, comedy, etc. menjadi satu dalam sebuah bacaan yang sangat menarik bertajuk Sherlock Holmes, setidaknya itu menurut saya. Bisa dikatakan saya sangat menyukai cerita ini. Mulai dari membaca bukunya yang sudah saya lakukan berkali-kali sampai saya lupa sudah berapa kali membacanya, menonton filmnya yang dikeluarkan oleh Warner Bros dengan Robert Downey Jr dan Jude Law sebagai pemeran utamanya, dan awal tahun ini sayajuga menonton BBC Series Sherlock dengan pemerannya Benedict Cumberbatch dan Martin Freeman. Agak telat juga sih nontonnya karena season pertama dari series ini pun sudah tayang sepuluh tahun yang lalu. But, It's okay.

Sherlock Holmes menarik untuk diulik lebih lanjut, setidaknya menurut saya sebagai salah satu penggemarnya. Mulai dari versi aslinya, Sherlock Holmes versi buku sangat-sangatlah menarik. Selain memberikan sajian tulisan fiktif yang menghibur, Sir Arthur Conan Doyle berhasil membuat puzzle cerita yang menantang bagi pembaca sehingga ketika membaca Sherlock Holmes pembaca otomatis akan ikut memikirkan kasus-kasus yang akan dipecahkan oleh Sherlock Holmes.

Bagi saya, membaca buku ini mengajarkan saya untuk berpikir secara sistematis dan terstruktur. Kita juga harus melihat sesuatu secara holistik dan komprehensif. Tidak boleh memiliki prasangka apapun terhadap sesuatu sampai kita mendapatkan data-datanya. Yang dapat saya tangkap dari cerita ini bukanlah kehebatan dan kejeniusan Sherlock Holmes dalam memecahkan kasus-kasusnya, lebih dari pada itu bagaimana kebijaksanaan seorang Sherlock Holmes baik dalam berpikir maupun berperasaan. Bahwa kehebatan yang ditunjukkan itu bukanlah hal yang instan, tetapi melalui proses pembelajaran yang panjang dan kontinyu.

Sherlock Holmes dalam memecahkan kasus-kasusnya bukan hanya melihat pada apa yang saat ini ada tetapi dia menelusuri latar belakang seseorang baik itu korban maupun tersangkanya secara mendalam. Bagaimana masa lalu seseorang, bahkan sesuatu yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu bisa menjadi satu motivasi bagi seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Selain itu, penggambaran yang menggelitik imajinasi juga membuat pembaca menjadi awas dan teliti. Bagaimana detail-detail kecil menjadi sesuatu yang sangat penting dalam pemecahan sebuah kasus. Itu adalah salah satu hal menarik dalam buku yang tidak dapat dilihat di versi film maupun versi seriesnya. Sherlock Holmes juga meskipun dia diceritakan sebagai seorang yang memang sudah terlahir jenius, dia tetap melewati proses yang kita kenal sebagai belajar untuk bisa menjadi seorang detektif konsultan-sebagaimana dia menyebut dirinya- yang handal.

Dari buku ini saya juga menjadi paham bahwa manusia memiliki spesialisasinya masing-masing dan hendaknya kita fokus pada sesuatu yang benar-benar ingin kita kuasai. Seperti Sherlock Holmes yang sangat menguasai kimia, anatomi tubuh, sedikit ilmu kedokteran, dan geografi karena hal-hal tersebut mendukung pekerjaannya, tetapi dia tidak paham sama sekali mengenai politik, filsafat, dan astronomi. Bahkan sebagai sebuah penggambaran ekstrem, Sherlock Holmes tidak memahami teori copernicus tentang heliosentris, teori tentang bumi yang berputar mengelilingi matahari. Lebih jauh lagi, versi buku memiliki cerita yang masih original dengan kasus yang sangat beragam dengan ending yang mengejutkan dan kadang pula sangat mengejutkan karena Sherlock Holmes tidak berhasil memecahkan kasus tersebut. Satu pembelajaran lagi, bahwa orang hebat dan jenius pun kadang-kadang juga mengalami kegagalan. Sekarang saya akan coba mengulas beberapa aspek untuk membandingkan cerita Sherlock Holmes versi buku, film, dan series.

Dari segi setting tempat semuanya sama yakni 221B Baker Street, London, Inggris. Dari segi setting waktu ada perbedaan antara versi buku dan film dengan versi series BBC. Setting waktu yang ada di buku dan film adalah tahun 1800an (era Victorian), sedangkan setting waktu di series adalah tahun 2010an. Perbedaan setting waktu ini juga memberikan perbedaan yang signifikan pada penggambaran kondisi latar baik latar tempat maupun latar sosial, serta bagaimana cara Sherlock Holmes memecahkan kasus-kasusnya. Di versi buku dan film, saya rasa dialek yang dipakai adalah dialek Bahasa Inggris formal dengan kultur aristokrat. Yang mana kalau di era Victorian unsur-unsur kebangsawanan memang masih sangat kental di Inggris. Sedangkan di versi series, bahasa yang digunakan pun terkesan lebih familiar dan santai karena yang digunakan adalah Bahasa Inggris saat ini, sehingga di versi series ini kita akan banyak mendengar slang. Salah satu yang paling saya hafal adalah bagaimana tokoh-tokoh dalam series menyebut televisi dengan telly bukan television. Selain itu, panggilan yang digunakan oleh masing-masing tokoh satu sama lain juga berbeda. Di versi buku dan film, Sherlock Holmes dan Dr. John Watson memanggil satu sama lain dengan nama belakang masing-masing seperti "Holmes" dan "Watson". Sedangkan di versi series, panggilan masing-masing dari mereka adalah "Sherlock" dan "John". Dari penggambaran latar tempat, versi film dan series memiliki sedikit perbedaan yang mungkin kurang dinotice oleh pemirsanya yakni penempatan nomor 221B yang di versi film ada di kaca sebuah penerangan di depan pintu masuk ke flat, sedangkan di versi series nomor 221B ada di pintu masuk dan sering sekali ditampilkan di layar.

Vita's Journal: What I Thought TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang