BAHAGIA ITU SEDERHANA

12 2 1
                                    

Wah ternyata sudah lama sekali ya aku nggak nulis di Vita's Journal: What I Thought Today. Pantas saja rasanya pikiran dan hati terasa sumpek dan ruwet akhir-akhir ini. Meskipun aku juga tetap aktif menulis di media dan platform lain, tapi entah mengapa terasa berbeda dengan ketika aku menulis di sini. Mungkin karena tulisan di work ini adalah murni dari pikiranku. Bisa dikatakan juga sebaga wadah curhatku.

Beberapa bulan ada di rumah, selain karena pandemi juga karena faktor masa merantau saya fase ini sudah selesai sehingga harus kembali ke rumah. Akhir-akhir ini karena saya banyak waktu secara tidak sadar saya lebih memperhatikan sekitar. Bagaimana tingkah bunglon yang selalu menggangguku dengan bermain di jendela kamarku. Bagaimana pohon kacang koro yang ada di depan kamar tumbuh setiap harinya. Berapa jumlah pepaya yang saya dan bapak ibu makan selama seminggu dari hasil satu batang pohon pepaya depan rumah. Bagaimana pohon sirsak depan rumah mulai berbunga dan kini sudah muncul buahnya meskipun masih kecil-kecil dan masih banyak lagi.

Aku juga menjadi cukup paham akan tren sekarang. Jenis sepeda apa yang ngetren di lingkungan rumah. Siapa saja yang suka bersepeda dengan rutin tanpa terlepas musim sepedaan atau bukan. Bahkan tanpa aku mau dengan sendirinya aku bisa tahu berapa harga sepeda si A, B, C, dan lainnya. Oh iya, sekarang sepeda juga sudah mulai surut penggemarnya. Kalah dengan layang-layang. Layangan alias layang-layang sekarang sedang menjadi primadona di kampung. Mulai dari anak kecil yang belum sekolah sampai bapak-bapak seperti tak ingin kalah untuk mengikuti tren layang-layang ini.

Bentuknya macam-macam ada yang bentuknya begitu artistik menunjukkan bahwa yang punya layangan itu mememiliki sense of art yang lumayan. Meskipun tak jarang itu hasil karya orang lain alias beli, tapi setidaknya si pemilik punya selera yang bagus untuk memilih layangan yang artistik. Ada juga yang kreatif membuat layangan sendiri dengan berbagai ukuran dan berbagai bentuk. Ada yang bentuk layangan konvensional, bapangan, bahkan ada yang membuat dengan bentuk yang aneh-aneh seperti bentuk memedi.

Hal yang baru-baru ini saya lakukan karena musim layangan adalah mengamati layangan ada di berbagai penjuru langit dari belakang rumah. Kadang menghitung jumlah, kadang mengamati bentuk, bahkan tak jarang juga mengamati pertarungan sengit dua layangan yang saling bersangkutan. Satu peristiwa terjadi tadi sore yang bagiku itu lucu. Kira-kira jam setengah lima sore, aku keluar ke belakang rumah dan di sana ada bapak. Akhirnya kami berdua sama-sama mengamati layangan-layangan yang terlihat dari belakang rumah kami. Di sebelah Timur ada satu layangan dengan warna dominan kuning dan merah, bentuk bapangan, dengan buntut yang cukup panjang. Sebelah selatan layangan bapangan sendaren yang bisa mengeluarkan bunyi seperti peluit tanpa buntut. Sebelah utara ada layangan berbentuk bapangan biasa. Benar-benar biasa.

Cuaca cukup cerah meskipun langit terlihat kelabu. Kami berdua cukup lama mengamati layangan-layangan itu. Sewaktu kami berjalan menuju rumah yang hanya kurang lebih 5 langkah tiba-tiba terdengar suara seperti kerikil jatuh ke genting dengan jumlah banyak. Ternyata gerimis dengan intensitas tinggi tiba-tiba turun, padahal cuaca masih lumayan cerah dan di sebelah barat pun masih terlihat terangnya sinar matahari.

Melihat kejadian itu, kami berdua sontak tertawa. Entah mengapa bagi kami hujan yang turun tiba-tiba itu menjadi sesuatu yang lucu karena kami masih mengamati layangan-layangan tadi dari belakang rumah kami yang tentunya kami sudah berteduh di beranda belakang rumah. Layangan sendaren yang ada di selatan langsung bermanuver dengan kecepatan tinggi. Mungkin pemiliknya langsung menggulung benang dengan sekuat tenaga sehingga layangannya berhasil terselamatkan. Layangan di sebelah utara terlihat beberapa saat masih mengudara tapi entah kenapa tiba-tiba dia menghilang seketika. Aku dan bapak membuat membuat spekulasi-spekulasi tentang bagaimana nasib layangan itu, dan kami tertawa karenanya. Lebih tepatnya dengan prediksi-prediksi nasib layangan yang kami buat. Selain itu, kami lihat layangan di sebelah timur masih santai mengudara bahkan tak terlihat si pemilik mulai menggulung benang.

Kedatangan ibu menginterupsi keasyikan kami dalam mengamati layang-layang yang tersisa. Saat kami kembali mengamati layang-layang yang ada di sebelah timur itu, ternyata buntut panjangnya sudah menghilang. Rupaya hujan sudah mulai mengusik layangan itu sampai-sampai buntutnya hilang. Kemungkinan putus karena basah. Lambat laun kami melihat manuver berkecapatan tinggi dalam menggulung benang, tapi tiba-tiba layangan itu turun dengan cepat dan terlihat seperti tidak memiliki daya lagi. Lalu kami menebak-nebak lagi bagaimana nasib layangan itu. Menurut kami sepertinya itu adalah akhir dari masa kejayaan layangan itu. Dan kami tertawa bersama akan prediksi-prediksi nasib layangan yang kami buat sendiri. Bagaimana keseruan orang-orang yang sedang bermain layangan bisa seketika berubah menjadi kehebohan bahkan bagi pengamatnya yang hanya mengamati dari jauh hanya karena hujan yang turun tiba-tiba dan langsung turun dengan deras tanpa memberi aba-aba atau tanda-tanda sebelumnya.

Akhirnya, hari ini pun aku kembali disadarkan bahwa momen-momen ringan seperti ini justru sangat bermakna. Sangat berharga. Aku sudah terbiasa hidup di luar rumah. SMP ada karantina selama berbulan-bulan. SMA beberapa kali ikut kompetisi yang mengharuskanku bermalam di luar kota. Kuliah memilih kampus di luar kota dan tinggal di rusunawa. Perjalanan dari Semarang ke Magelang paling-paling hanya 2 jam tapi aku pernah sampai 3 bulan lamanya tidak pulang ke rumah. Aku yang masih muda dengan jiwa pengembara begitu asyik dan egois berpetualang. Sekarang setelah sekian bulan kembali ke rumah, aku menjadi sadar bahwa dulu aku terlalu egois. Kurang memikirkan betapa berharganya momen-momen bersama keluarga. Apalagi kalau aku tak ada di rumah bapak ibu hanya akan berdua. Tidak perlu momen yang spesial dengan dibalut kemewahan. Cukup momen ringan sehari-hari yang penuh kesederhanaan ternyata mampu memberikan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Kebahagiaan masih diberi kesempatan untuk bisa terus bersama-sama. Kebahagiaan untuk masih bisa merasa bahagia dari hal-hal yang sederhana.

01.10.2020

Vita's Journal: What I Thought TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang