10 Agustus 2020
Shizuoka, JepangJisoo...
Hari ini bos mengajak aku untuk menemaninya memilih gaun pengantin, dia akan menikah dalam beberapa bulan ke depan. Gaun-gaun di toko itu sangat indah, berkilauan saat tertimpa lampu ruangan.
Aku teringat hari dimana kita berdua pergi ke salah satu toko gaun pengantin dulu. Apa kau masih ingat? Kita pergi tanpa tujuan apapun, hanya ingin melihat-lihat gaun yang ada di dalam karna kau tertarik dengan salah satu gaun yang terpajang di luar.
Aku ingat bagaimana kau sangat bersemangat mencoba gaun yang ada di sana, membuat semua pelayan kerepotan menghadapi tingkah mu.
Aku juga masih ingat bagaimana kau memaksaku untuk mencoba gaun yang mirip dengan gaun yang sedang kau gunakan. Awalnya aku tidak mau melakukannya, itu memalukan, tapi akhirnya aku luluh karna tatapan mu yang mirip seperti anak anjing itu.
Kita berdua berdiri menghadap kaca besar yang ada di sana, berpegangan tangan dengan senyum lebar tersungging di wajah kita.
Aku masih terhanyut dengan penampilan mu saat itu. Rambut terikat setengah dengan sedikit uraian di sampingnya, bibir berwarna merah muda yang tidak pernah berhenti tersenyum, gaun tanpa lengan yang menunjukkan colarbone mu yang menonjol indah, kulit seputih porselin yang sangat lembut saat bersentuhan dengan kulitku. Kau sempurna, bagiku kau sangat sempurna.
"Saat kita berdua menikah nanti, kau harus membelikan gaun ini untukku,"
Saat itu aku hanya bisa menjawab perkataan mu dengan senyuman. Aku bisa membayangkan hari bahagia itu, hari dimana aku menjadikan mu milikku seutuhnya. Hari dimana aku bisa meneriakkan kepada dunia bahwa seorang Kim Jisoo adalah milikku.
Kalimat itu menjadi penyemangat ku untuk segera menyelesaikan kuliah dan bekerja. Aku ingin bekerja dan memiliki banyak uang agar dapat membelikan gaun yang mahal itu untukmu.
Aku berhasil, aku berhasil lulus kuliah lebih cepat dari biasa dan berhasil juga masuk ke sebuah perusahaan ternama dengan jabatan yang menjanjikan. Aku berhasil menghasilkan banyak uang seperti yang aku inginkan.
Namun, hari ini aku tidak hanya mengingat hari bahagia itu. Aku juga mengingat hari yang satunya, hari yang jauh dari kata bahagia walaupun terjadi dalam sebuah bangunan yang sama.
Hari dimana akhirnya kita masuk ke toko gaun pengantin itu untuk membeli gaun keinginan mu. Gaun yang sama dengan yang kau inginkan 4 tahun sebelumnya.
Kita membeli gaun itu, tapi bukan aku yang akan membayarnya untukmu. Bukan uang hasil kerja kerasku selama ini, bukan uang yang ada dalam harapan ku.
Kita membeli gaun itu, tapi aku tidak akan meneriakkan bahwa seorang Kim Jisoo adalah milikku. Aku tidak akan menjadi seorang yang berdiri di depan altar bersamamu, juga bukan orang yang akan mengucapkan sumpah kesetiaan ku untukmu.
Aku melihat pantulan indahmu di kaca besar itu, melihat senyum milikmu yang tidak pernah berubah, melihat mu berputar dalam kebahagiaan sambil mengagumi betapa cantik dirimu dalam balutan kain putih penuh pernik berkilauan itu.
Aku baik-baik saja
Aku baik-baik saja
Aku...
Aku baik-baik saja
Aku terus mengulang kata itu dalam hati dan pikiran ku. Aku terus menerus mempercayai kebohongan bahwa aku baik-baik saja.
Aku terus mempercayai itu, hingga akhirnya sedikit demi sedikit aku mulai kehilangan diri ku yang sebenarnya.
Kebohongan itu seperti bola salju yang terus bergulir. Semakin lama, gulungan salju putih itu akan semakin besar, semakin besar, semakin besar hingga akhirnya lebih besar daripada genggaman tanganku sendiri. Sampai di titik dimana kebohongan itu lebih besar dari diriku.
Aku tidak menyadari, bahwa kebohongan itu telah melebur dalam jiwaku, bersikap seolah-olah itu adalah kebenaran yang sebenarnya.
Aku tidak siap mengakui kebenaran, tidak, lebih tepatnya aku tidak mau mengakui kebenaran. Aku nyaman hidup dalam kebohongan yang kubuat karna dengan begitu aku tidak terlihat menyedihkan di hadapan mu.
Tapi sampai kapan kenyamanan itu akan memeluk ku? Selamanya? Tentu saja tidak. Suatu saat aku harus menanggalkan kenyamanan ini dibelakang, dan memberanikan diri untuk menerima kebenaran itu.
Aku akan terluka, aku tau itu.
Tapi apakah itu masih penting Jisoo-ya? Apakah luka yang tergores dalam hatiku masih penting? Apakah rasa sakit yang mencengram diriku masih berpengaruh pada kehidupan mu?
Hingga saat ini pun, aku masih belum berani mengakui kebenaran itu. Atau...
Apakah akan ada hari dimana aku sanggup menerima nya?
Sincerely
Park Chaeyoung