Suara burung berkicau terdengar samar. Menandakan jika saat ini mungkin sudah pagi. Dia berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat. Namun sangat sulit dilakukan. Perlahan, tubuhnya terasa sakit. Terlebih kepalanya yang seperti ingin meledak.
Dia mengerjap. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih polos. Padahal seingat Lisa, langit-langit kamarnya berwarna biru dengan banyak gambar bintang. Apakah ada yang menggantinya tanpa sepengetahuan Lisa?
"Hey, Sayang. Unnie disini."
Lisa merasa sudah bermimpi begitu banyak. Dan di setiap mimpinya, suara sang kakak terus muncul. Padahal seingat Lisa, kakaknya sedang dalam masa kritis dan Dokter ingin mencabut semua alat penunjang hidup gadis itu.
Dia menahan napasnya. Ketika mengingat sesuatu. Jika dia sedang tertidur disini, bagaimana keadaan kakaknya? Apakah mereka sudah mengubur tubuh Jisoo tanpa menunggu Lisa?
Gadis itu berusaha bangkit, namun untuk bergerak saja rasanya sangat sulit. Dalam diam, dia menangis. Merutuki takdir yang sangat tidak berpihak kepadanya. Kenapa dia harus pingsan di saat-saat terakhir hidup Jisoo? Seharusnya takdir membiarkan Lisa mengantar kakaknya ke peristirahatan terakhir.
"Kau menangis? Ada yang sakit, eoh?" suara itu kembali lagi. Kali ini dengan usapan lembut di pipinya. Membuat Lisa berusaha mengalihkan pandangan ke arah orang itu.
Lisa terkejut. Andai saja jika dia mampu berteriak, ruangan itu pasti akan penuh oleh suaranya. Jisoo tampak sangat nyata. Menatap Lisa penuh kekhawatiran, serta sorot mata yang sangat Lisa rindukan.
Apakah dia sedang bermimpi? Jika iya, Lisa tak ingin bangun. Dia ingin dalam mimpi indah ini selamanya. Tak peduli kalau Jisoo hanyalah sebuah halusinasi, tak peduli jika keberadaan kakaknya itu tak nyata. Lisa sungguh ingin menetap di mimpinya ini.
Sekuat tenaga, Lisa berusaha membuka mulutnya. Dia ingin berucap pada sang kakak yang merupakan halusinasinya itu. Dia takut sekali akan terbangun dan Jisoo sudah hilang dari pandangannya. Dia takut tak bisa mengungkapkan rasa sayangnya pada Jisoo.
"U-Un-nie..." Lisa meringis dalam hati, merasa sebuah jarum menusuk lengannya. Lalu di susul rasa kantuk yang tak bisa tertahankan.
Gadis itu masih berusaha untuk membuka matanya. Namun percuma saja. Rasa kantuk yang entah dari mana asalnya seakan memeluk Lisa erat. Dan dia sudah pasrah jika Jisoo akan hilang, tak dapat dia pandang di kehidupan nyata lagi.
.......
"Kembalilah ke kamar rawatmu bersama Appa, Jisoo-ya. Biar Eomma yang menjaga Lisa."
Gadis berambut hitam itu tak bergeming saat Chaerin menyentuh bahunya lembut. Fokusnya hanya terpaku pada wajah pucat Lisa dengan setengah bagian tertutup oleh masker oksigen.
Satu minggu lalu, saat Jisoo benar-benar tersadar dari komanya. Lisa tiba-tiba jatuh pingsan dengan darah mengalir dari kedua lubang hidungnya. Setelah diperiksa, Dokter menyatakan Lisa mengalami pendarahan otak. Diduga karena kepala Lisa terbentur dengan keras sebelumnya, ditambah gadis itu mengkonsumsi obat penderita hemofilia. Membuatnya sangat rentan terhadap pendarahan otak.
"Dokter Jeon bilang, penyembuhannya akan memakan waktu yang sangat lama. Bagaimana perasaannya nanti?" Jisoo menggigit bibir bawahnya kuat. Lisa terluka, karena Jisoo tak dapat menjaganya. Padahal, biasanya Lisa akan selalu aman saat ada dalam jangkauan Jisoo.
"Dia tidak akan memikirkan hal itu. Dia jauh lebih senang karena melihatmu sudah mulai pulih." Yunho angkat bicara. Yang menyadarkan Jisoo akan sesuatu.
Dia sudah diberitahu, bagaimana kondisinya setelah tertembak peluru. Saat itu dia tak memiliki harapan hidup. Bahkan beberapa kali jantunya berhenti berdetak. Sampai sekarang saja, dadanya masih terasa sakit akibat dari penggunaan alat pacu jantung berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Sister ✔
FanfictionDia selalu menjaganya. Rela mengorbankan segala hal untuk adik tercinta. Walaupun kenyataannya mereka tak memiliki hubungan darah, namun kasih mereka melebihi seorang saudara. Jung Lisa selamanya akan menjadi adik kesayangan Jung Jisoo. Begitupun se...