صباح الخير ١٥ : Pasar malam dan hati yang tenggelam

50 8 4
                                    

Apapun yang terjadi, mengikhlaskan adalah bagaian dari perjalanan dan kenyataan yang harus dihadapi.

Author

------------------------------------------
صباح الخير ١٥
Pasar malam dan hati yang tenggelam
------------------------------------------

Minggu, 09 Agustus 2020

"Ca."

"Hm."

"Baca apa sih?"

"Novel."

"Seru banget ya?"

"Iya."

Setelah keduanya menunaikan sholat isya, sekitar kurang lebih satu jam Shalsa fokus pada novel ditangannya. Sedangkan Zafran hanya memperhatikan perempuan itu tertawa, marah, dan sedih ketika membaca lembar perlembar halaman buku tebal itu.

"Orangnya disini, Ca. Bukan di novel." Sindir Zafran.

Shalsa menutup novelnya, menatap lelaki yang bersandar di dinding dekat jendela besar kamarnya. Wajahnya sudah kusut, ditambah dengan ekspresi cemberutnya. Jelas saja Shalsa tertawa melihatnya. "Muka Kak Zaf lucu deh."

Zafran hanya melirik sebentar dan kembali menghadap keluar jendela. "Kata tokoh di novel yang Caca baca. Kalau cowok diam aja, berarti cowok itu lagi marah."

"Masa?" Tanya Zafran dengan nada ketus.

"Tuh kan, marah."

"Lagian ditanya jawabnya singkat banget, kita ini lagi ngomong bukan lagi chattingan." Keluh Zafran.

Lelaki itu benar-benar marah rupanya. Shalsa merubah posisinya lebih mendekat ke samping Zafran, menopang dagunya memperhatikan wajah laki-laki yang sudah satu minggu ini menjadi imam disetiap sholatnya.

"Kak."

"Hm."

Oke sekarang keadaannya berputar terbalik. Ini semacam acara balas dendam atau apa sih?

"Maafin Caca."

"Kenapa minta maaf?" Tanya Zafran dengan nada datar dan masih setia memandangi langit malam.

"Karena udah cuek ke Kak Zaf."

"Emang Kak Zaf itu siapa?"

Deg. Pertanyaan macam apa ini?

"Emm, Kak Zaf ya, Kakak." Shalsa menyentuh kelima jari yang digunakan Zafran sebagai tumpuan untuk menunjuk bahwa Kak Zaf yang disebutnya itu adalah Zafran.

"Aku? Emang aku siapa?"

Shalsa merasa terpojokkan, memangnya sebesar itu ya kesalahannya sampai-sampai Zafran membahasakan dirinya dengan kata 'Aku' yang sama sekali belum Shalsa dengar dari mulut laki-laki itu.

"Kak Zaf, itu suami, imam, pendamping, pemimpin, teman hidup halalnya Caca." Ungkapnya dengan mata terpejam.

Tiga kata terakhir itu membuat Zafran menoleh. Entah kenapa kata 'teman hidup halal' itu terasa lucu ditelinganya. Dia sebenarnya tidak marah, hanya saja Shalsa harus tahu tidak baik memiliki sifat cuek seperti tadi apalagi pada dirinya yang notabelnya, emm... Teman hidup halalnya.

Shobahul Khoir (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang