6. SEBUAH AWAL

1K 71 3
                                    

Assalamu'alaikum readers....

Bismillah, klik bintang , cuss baca ya ....


Malam ini adalah malam pertama bagi Arsyi dalam menjalani kehidupan berumah tangga dengan Nizam.

Arsyi sedang menyiapkan baju ganti Nizam saat pintu kamarnya dibuka. Tampak sesosok laki-laki tinggi dengan postur tegap berdiri di ambang pintu. Kulit coklat eksotisnya terlihat mengkilap di bawah sinar lampu temaram kamar.

Wajahnya bersih dengan hidung bangir dan bibir tipis yang manis. Juga sepasang mata elang yang tajam dengan alis tebal terpahat rapi di atasnya.

Ada jambang tipis menghias pas di dagu dengan rahang kokoh nan tegas. Sungguh pahatan sempurna yang menyuguhkan ketampanan yang paripurna.

Nizam masuk dan menutup pintu di belakangnya. Matanya memandang berkeliling ke seluruh ruangan. Bed kingsize dengan sprei berwarna putih, meja rias sederhana dengan kaca yang besar dan sedikit alat makeup di sana, almari besar dengan pintu-pintu dari kaca sehingga nampak kerapian isi di dalamnya, rak buku juga berwarna putih dengan banyak buku-buku tebal yang tertata rapi dan sofa panjang berwarna biru langit lengkap dengan karpet putih yang tebal.

Nyaman dan rapi, dua kata yang bisa disimpulkan Nizam dari kamar istrinya ini. Dia menilai seperti itu karena memang dia menyukai kerapian.

Arsyi menghentikan kegiatannya dan memberanikan diri memandang suaminya.
"Mas mau mandi dulu? Ini sudah Adek siapkan baju gantinya," sapa Arsyi dengan senyum tulusnya.
Tangannya terulur untuk menyerahkan handuk dan baju ganti pada Nizam.
Nizam tak menyahut, mengambil handuk dan baju ganti dari tangan Arsyi dengan kasar. Lalu melempar baju ganti itu ke atas tempat tidur.

"Sudah aku bilang, jangan urusi urusanku. Kita akan mengurus sendiri semua urusan kita masing-masing. Dan jangan memanggil dirimu dengan sebutan adek, kamu bukan adikku," ucap Nizam datar dan melangkah ke kamar mandi.

"Mas," panggil Arsyi hingga langkah Nizam berhenti dan berbalik menatap Arsyi kembali.

Dia sedikit heran mendapati istrinya itu masih tersenyum tulus, padahal dia sudah ketus padanya.

"Setidaknya, ijinkan aku melakukan tugasku. Sekedar menyiapkan keperluanmu, baju juga makanmu, untuk menggugurkan kewajibanku sebagai seorang istri. Sesuai statusku seperti yang tertulis di buku nikah," ucap Arsyi tenang tapi cukup menohok Nizam.

Nizam diam sejenak sebelum menjawab.

"Hanya sebatas itu. Tidak lebih," ucap datar Nizam.

"Dan satu lagi, Mas," sela Arsyi, tak dipedulikannya tatapan Nizam yang mulai terlihat geram.

"Kita akan tidur di tempat tidur yang sama, kan?" tanya Arsyi ragu-ragu.

Nizam kembali menatap tajam.

"Itu maumu. Aku tidak," jawabnya dingin

"Setidaknya, kita bisa tidur dalam kamar yang sama meskipun tidak satu tempat tidur. Aku tahu, kita masih perlu penyesuaian," ucap Arsyi dengan senyum.

Nizam menggeram dan kembali mendekati Arsyi.

Arsyi memundurkan diri selangkah, siaga akan hal terburuk yang mungkin bisa dilakukan Nizam. Meskipun dadanya berdebar hebat dia berusaha meredam dan tetap bersikap tenang.

Nizam semakin dekat dengan wajah dingin dan sorot mata tajam menusuk, menatap lekat pada manik mata Arsyi yang terlindung kaca mata besar.

Kini, tak ada jarak di antara keduanya, bahkan nafas panas Nizam menderu keras di wajah Arsyi.

"Sudah aku katakan di awal, kamu harus mengikuti aturanku. Jangan membuat aturanmu sendiri. Untuk saat ini aku ikuti kemauanmu, tapi besok saat aku membawamu ke rumahku, kamu harus patuhi aturanku," kata-kata Nizam pelan, namun dingin dan penuh penekanan.

Arsyi berusaha keras menatap mata suaminya dan menampilkan senyum manis.

"Kalau Mas tidak mau, maka aku akan tetap tinggal di sini," bisik Arsyi.

Nizam terkesiap mendengar jawaban lirih namun sarat ancaman itu. Terlihat rahang Nizam menegang.

"Kamu istriku, jadi harus patuh dan nurut kemanapun aku akan membawamu," desis Nizam.

"Iya, istri sebatas yang tertulis di buku nikah," ucap Arsyi pelan.

Nizam bungkam, merasa termakan oleh ucapannya sendiri. Rupanya, wanita yang dianggapnya lemah ini tak selemah kelihatannya, dia harus berhati-hati.

Untuk saat ini sepertinya dia harus mengaku kalah dari istrinya dan menuruti kemauannya, jika tidak mau keluarganya curiga karena Arsyi tidak mau tinggal bersama di rumahnya.

Baiklah, sementara dia kalah.

Dengan mengepal kesal Nizam melangkah ke kamar mandi, meninggalkan Arsyi dengan senyum lega di bibirnya.

"Maaf Mas, bukan aku ingin membantahmu. Aku hanya ingin kebencian di hatimu itu pergi," batin Arsyi.

Kemudian dengan lincah Arsyi kembali melipat baju ganti Nizam yang tadi dilemparkan sembarangan di atas tempat tidur dan meletakan dengan manis di atas bantal.

Setelah itu dia beranjak keluar kamar untuk menyiapkan air minum hangat untuk Nizam.

Saat kembali, Nizam telah berbaring di sofa bacanya dan mengenakan baju ganti yang tadi disiapkannya. Diam-diam Arsyi tersenyum.

"Ini, minum air hangat dulu sebelum tidur Mas, Insyaallah baik untuk kesehatan," ucap Arsyi dengan senyum tulus.

"Aku tak biasa minum air putih sebelum tidur, aku lebih suka susu hangat," ucap datar Nizam tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang dipegangnya.

Arsyi semakin tersenyum senang, karena tanpa sadar Nizam telah memberitahukan salah satu kebiasaannya.

Arsyi mengucap hamdalah dalam hati, dia bersyukur dan semakin yakin, bahwa dia akan mampu melunakkan hati suaminya itu.

"Baiklah, aku akan buatkan," ucap lembut Arsyi sambil melangkah menuju pintu.

"Tidak perlu. Aku sudah mau tidur. Dan jangan lupa, besok setelah sarapan kita harus meninggalkan rumah ini," sela Nizam.

"Baik, Mas," ucap Arsyi patuh.

Sebenarnya dia ingin mengajak Nizam untuk tidur di tempat tidurnya, tapi ditahannya keinginannya itu.

Sementara, untuk saat ini, dia telah memperoleh kemajuan yang berarti, setidaknya Nizam mau menuruti permintaannya. Itu sudah cukup.

Perlahan Arsyi berbaring di tempat tidurnya dan menarik selimut hingga ke pinggang. Jilbab instan masih bertengger dengan nyaman di kepalanya.

Setelah membaca doa Arsyi pun tersenyum lebar, siap menjemput mimpi.

Besok dia akan memulai hidup barunya. Meninggalkan tempat tinggal nyaman yang selama 23 tahun ini menjadi peraduannya. Meninggalkan Buya, Bunda juga Abang yang selalu menyayangi dan memanjakannya.

Dan dengan sikap permusuhan dari Nizam, suaminya itu, Arsyi harus benar-benar menyiapkan hati, pikiran dan akal untuk tetap selalu sehat dan waras agar tidak mudah terbawa emosi.

"Bismillah, Allah bersamaku, aku akan bahagia," bisik lirih Arsyi.

Jangan lupa vote komen n saran ya readers .....

Dalamnya laut aku tak ingin tahu

Tingginya langit aku tak ingin duga

Jika kau rindu datanglah padaku

Dengan membawa es krim coklat vanilla

Bahagia ... Bahagia ... Bahagia ...

Publish, 14082020

LESSON 4 MY HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang