"SISA waktu kalian sudah habis, selesai nggak selesai kertas ulangan kalian kumpul di meja. Ibu hitung satu sampai tiga!"
Ucapan seorang guru matematika yang terkenal sangat killer membuat penghuni kelas langsung saja berbondong-bondong mengumpulkan kertas ulangan di meja depan sesuai instruksi yang mereka dapatkan. Ada yang masih menulis dengan tubuh setengah berdiri karena jawaban yang mereka isi belum selesai. Ada juga yang masa bodo dan langsung bergerak maju, ada pula yang gemetaran karena belum tuntas mengisi jawaban satu nomor pun. Bahkan, ada juga yang masih duduk anteng di bangkunya, tapi tangannya masih bergerak lincah mencoba mengisi tuntas jawaban meskipun waktunya sudah habis.
"Oke, semuanya sudah terkumpul. Terima kasih atas perhatian kalian hari ini. Ibu pamit undur diri, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Guru langsing berkacamata lengkap dengan rambutnya yang disanggul, kemudian keluar dari dalam kelas setelah semua murid di dalam kelas dengan serempak menjawab salamnya.
Ketika guru tersebut pergi, kelas kembali gaduh. Ada yang langsung membuka buku untuk mengecek apakah barusan saat ulangan benar memasukkan sebuah rumus. Ada yang saling curhat betapa sengsaranya ulangan hari ini. Dan tentu saja ada tipe yang cuek dan tidak peduli akan nilai yang didapatkan.
"Elata! Ya ampun! Bu Susi udah keluar kelas, kok lo malah masih nulis jawaban sih?!"
Seorang gadis yang rambutnya di kuncir ekor kuda langsung tergelak. Ia mendongak dan menatap sahabatnya dengan bola mata melotot kaget.
"Ha? Kok bisa? Kapan keluarnya? Gue belum ngumpulin lembar ulangan gue!" Gadis yang dipanggil dengan sebutan Elata tersebut memekik keras. Ia baru saja hendak mengisi jawaban nomor lima, tapi terpaksa terhenti karena teguran yang melayang untuknya. Tatapan Elata kini teralih menatap ke depan kelas. Benar, Bu Susi sudah meninggalkan kelas.
"Tuh kan, makanya nggak usah isi kalo tadi kurang. Jadi gini, kan?"
Wajah Elata kini terlihat pucat pasi. "Terus gue gimana dong? Mampus gue!"
"Ya udah buruan kejar, pasti Bu Susi lagi di jalan sekarang. Mumpung belum terlambat. Cepetan sana!" Salah satu temannya menarik tangan Elata, hingga gadis itu pun mengangguk cepat dan mulai berlari keluar dari kelas untuk mengumpulkan tugas.
Elata berlari kencang di sepanjang koridor kelas. Napasnya memburu. Jantungnya sudah bergemuruh keras. Jangan sampai Bu Susi lolos. Kertas ulangan ditangannya ini harus berada di tangan guru tersebut. Elata tidak mau nilainya kosong, apalagi jika ia harus mengikuti ulangan susulan. Ia tidak mau melakukan itu, ia sudah begadang malam tadi guna mempersiapkan ulangan matematika ini. Dan kalau saja nilainya beneran kosong melompong, Elata akan sangat menyesalinya.
Sial, kenapa rasanya koridor yang ia lalui ini sangat panjang? Elata, gadis itu semakin menambah laju kakinya sambil berusaha tidak menghiraukan tatapan penuh tanya dari siswa lain. Peluh yang membanjiri pelipisnya juga berhasil ia abaikan. Tujuan satu-satunya sekarang adalah Bu Susi. Jangan sampai ia gagal.
Semoga masih sempat, Elata merapal doa dalam hati. Meskipun sekarang kakinya merasa sudah mulai pegal, energinya juga semakin terkuras habis, tapi Elata tidak akan menyerah.
Namun, kesialan rupanya mengikut Elata sedari tadi. Kini, gadis itu memekik kaget ketika tubuhnya menubruk seseorang sewaktu ia berlari di tikungan koridor. Elata terpental dan jatuh ke lantai. Ia mengaduh kesakitan sambil mengelus pinggangnya yang sakit.
Tidak berlangsung lama, Elata segera tersadar akan sesuatu. "Kertas gue?" Gadis itu menatap sekelilingnya, hingga pandangannya jatuh kepada benda yang ia cari. Untung saja kertas ulangan miliknya tidak hilang.
Elata menghela napasnya lega, ia menatap orang yang ditabraknya barusan. Hanya dua detik, sebelum akhirnya Elata kembali bangkit dan mencoba mengejar Bu Susi. Setelah kakinya pegal, kini pinggulnya terasa sakit akan tubrukan tadi. Benar-benar nasib yang sial.
"Itu Bu Susi!" Elata berseru tanpa sadar ketika netranya menangkap gestur guru matematika tersebut yang sedang berjalan. Tidak terlalu jauh dari posisi Elata saat ini, membuat senyuman tipis gadis itu menghiasi bibirnya yang berwarna merah muda alami.
Tujuan akan segara terealisasikan. Tinggal satu tahap lagi, Elata hanya perlu tenaga tambahan untuk berlari. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napas, kemudian ia merapatkan bibir dan mulai menyusul targetnya.
Ketika jaraknya dengan Bu Susi hanya tersisa beberapa langkah, Elata pun berseru cukup keras. "Bu Susi!"
Guru berusia kepala empat itu berhenti melangkah sewaktu namanya di sebut, kepalanya menoleh ke belakang. Hingga akhirnya ia melihat seorang murid yang penampilannya cukup kucel dengan keringat yang memenuhi keningnya.
"Iya?"
Elata tersenyum senang, akhirnya tugasnya akan segera sampai di tangan guru matematika tersebut. "Ini ulangan saya Bu, tadi ketinggalan. Maaf Bu, saya tadi lari buat ngejar Ibu."
Bu Susi menerima kertas dari tangan Elata, ia membacanya sejenak, sebelum wajahnya kembali terpaling ke arah Elata. Guru wanita itu menghela napas pendek dan menggelengkan wajahnya. Membuat Elata tiba-tiba saja diserang perasaan takut.
"Kenapa bisa terlambat? Tadi saya udah kasih waktu buat ngumpulin di depan, kamu ke mana aja?"
Ucapan tegas itu membuat Elata meneguk ludahnya dengan kasar. Ia meringis kecil. "Maaf Bu, tadi saya nggak denger."
"Ulangan kamu tidak saya terima!" tegas Bu Susi, yang langsung membuat Elata rasanya hampir pingsan di tempat. Napasnya tertahan ditenggorokan. Ia sudah berlari jauh-jauh dari kelas hanya untuk menyerahkan sebuah kertas lembar ujian, tapi inikah balasannya? Jantung Elata langsung berdentum keras.
"Bu, jangan dong. Saya janji nggak bakal gini lagi. Tadi saya emang nggak denger ibu ngomong di kelas. Kasih saya kesempatan Bu. Saya udah mati-matian belajar tadi malam biar dapet nilai bagus. Tolongin saya Bu ..." Elata memohon sambil menunjukkan mimik wajah memelas agar Bu Susi bisa luluh.
Menyadari Bu Susi yang hanya diam seraya memandang lurus ke arahnya, membuat Elata kembali memohon. "Bu, kasih saya kesempatan. Saya mohon terima ulangan saya kali ini."
Bu Susi mendengus pelan. "Saya beri kamu kesempatan kali ini. Tapi jangan diulangi lagi."
"Beneran Bu?" Wajah Elata langsung berbinar cerah.
"Iya," respons guru matematika tersebut singkat.
"Makasih banyak Bu, saya benar-benar nggak tau harus ngomong apa lagi. Sekali lagi makasih Bu." Gadis itu berulang kali membungkukkan badannya sebagai tanda hormat. Dengan wajah datarnya, Bu Susi hanya mengangguk. Setelah itu, Elata berpamitan hendak kembali ke dalam kelas, yang dibalas guru tersebut dengan anggukan kepala.
Berulang kali Elata mengucapkan syukur ketika berjalan santai ke dalam kelasnya. Akhirnya kertas ulangannya diterima meskipun awalnya ia harus memohon terlebih dahulu. Tidak sia-sia juga Elata mengeluarkan banyak sekali energi. Bahkan bokongnya terasa sakit akibat jatuh karena bertubrukan dengan seseorang tadi.
Memikirkan dirinya yang bertabrakan dengan seseorang membuat langkah Elata tiba-tiba saja terhenti. Ia mematung, pikirannya kembali akan kejadian beberapa menit lalu. Hingga akhirnya, setelah otaknya bisa mencerna dengan baik. Elata baru sadar jika orang yang ia tabrak tadi adalah ....
Elata meringis sambil mengusap tengkuknya.
"Gue harus minta maaf sama kak Brian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nolan & Elata
Teen Fiction"Kak Nolan mau nggak jadi pacar aku?" Menatap manik cowok dihadapannya dengan raut wajah setengah takut, Elata berujar lirih, lengkap dengan suara gugupnya. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, Nolan mensejajarkan wajahnya dengan cewek pen...