sebelas

88 14 0
                                    

BAHAGIANYA hidup Elata sekarang. Sebuah senyuman sedari tadi hinggap dibibir mungilnya. Itu semua karena ia sudah melaksanakan tugasnya, yaitu minta maaf. Dan satu hal lagi, tindakan Brian di perpustakaan terus saja terngiang di kepalanya. Usapan Brian dipuncak kepalanya masih Elata rasakan. Dan ia bertekad tidak akan lupa akan hal itu.

Sekarang ia bebas. Hidup paling menyenangkan adalah kebebasan. Bebas dari sebuah masalah, kenangan buruk, dan patah hati. Semuanya menyenangkan. Asik melamun sendiri, Elata tersentak ketika bel pulang sudah berbunyi.

Sementara diposisi lain, Nolan sudah berada di parkiran dan siap untuk pulang ke rumahnya. Tapi, belum juga ia menyalakan motornya, sebuah teriakan menyumpal di gendang telinganya, membuat Nolan mendesah kecil dan langsung menoleh ke sumber suara.

"NOLAN!"

Bola mata Nolan berputar malas. Manusia nggak ada akhlak satu ini benar-benar membuatnya malu dan kesal setengah mati. Nolan menggeram marah, lalu menoleh menatap Elang yang sudah berdiri di samping motornya. Gara-gara Elang, Nolan harus menanggung rasa malunya. Lihat saja sekarang, di parkiran yang luas ini, mereka menjadi sebuah pusat perhatian.

Nolan menatap Elang dengan tajam. "Lo nggak usah teriak-teriak bisa? Malu goblok!"

Elang malah nyengir kecil, kepalanya bergerak ke kanan kiri. Betul, sekarang banyak pasang mata yang menatapnya dengan pandangan aneh. Tapi Elang tidak peduli dan tidak merasa malu. "Kenapa harus malu sih? Gue punya anggota tubuh yang lengkap, ditambah kegantengan gue yang tiada duanya. Dan lo salah tanggap, mereka itu natap ke sini karena gue ganteng!"

Nolan mencibir, "kampret emang lo. Ada apa sih panggil-panggil gue?" tanyanya sinis. "Lo nggak lihat kalo gue udah siap pulang kayak gini?"

"Bentar dulu lah pulangnya, nggak usah buru-buru gitu." Elang menepuk pundak Nolan. "Kantin yok, temenin gue!"

"Dih, emang lo siapa ngajakin gue?"

Elang tidak kuasa menahan rasa kesalnya kepada Nolan, sampai akhirnya ia menggeplak kepala Nolan. "Buruan deh, nggak usah kebanyakan bacot. Gue laper nih, lagi ngidam gorengannya Bu Centil."

Nolan menolak secara mentah-mentah. "Ogah banget, pergi sendiri sono! Gue sibuk!"

"Gue traktir deh," pinta Elang, kali ini dengan suara yang dibuat memelas. Ia tersenyum kecil. "Mau, ya?"

"Nggak!" tolak Nolan. Lalu ia memundurkan motornya. "Awas, gue mau pulang. Pergi ke kantin aja sendiri. Ajak Ragas, kalo nggak Saka atau Miko. Terserah lo aja deh."

"Gue maunya lo. Lagian Ragas lagi pacaran sama Ralin, Saka nggak tau ke mana, mungkin udah pulang. Kalo Miko lagi ngurusin cewek bar-bar nggak jelas."

"Gue nggak peduli. Awas lah, gue mau pulang!" usir Nolan, nada suaranya terdengar menyentak. Cowok itu segera memakai helm dan langsung memutar kontak motornya. Bunyi mesin motor seketika membuat Elang melotot.

"Lah, lo beneran mau pergi? Ninggalin gue gitu aja?" Elang geleng-geleng kepala. "Nggak nyangka lo kayak gini. Udahlah kita putus aja!" Elang memberikan tatapan sinis kepada Nolan, sebelum akhirnya ia pun pergi.

Nolan mengerjapkan mata, menatap Elang terheran-heran. Ia kemudian mengembuskan napas panjang. "Stress tuh bocah."

Tidak mau mengurusi hal-hal tidak penting, Nolan mulai menjalankan motornya dan keluar dari parkiran. Sepuluh menit dalam perjalanan, entah kenapa Nolan merasa tenggorakannya kering. Ia pun memutuskan diri untuk pergi ke supermarket terdekat. Mungkin ini salah satu efek ketika ia berdebat dengan Elang beberapa saat yang lalu.

Nolan & ElataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang