sembilan

91 18 2
                                    

TIDAK ada yang lebih menarik dan menyenangkan daripada jam kosong. Bahkan bagi sebagian siswa, jam kosong lebih mengasyikkan daripada libur sekolah. Oleh karena itu, ketika ada pengumuman dari pengeras suara bahwa untuk satu jam ke depan adalah jam kosong yang artinya tidak ada pelajaran, semua siswa langsung bersorak gembira.

"Jam kosong kayak gini enaknya pergi ke perpus yuk?" ujar Elang dengan semangat yang menggebu.

Secara kompak, baik Nolan, Ragas, Miko dan Saka, menolehkan wajahnya menatap Elang. Mereka membelalakkan matanya tidak percaya. Mustahil kalimat seperti itu keluar dari bibir berdosa Elang.

"Sak, buruan cek suhu badan Elang!" Nolan berseru kepada Saka sambil menunjuk Elang dengan dagunya. Dengan cepat Saka mengangguk dan menurut.

Saka, yang posisinya berada di depan Elang segara menempelkan punggung tangannya di dahi Elang. Ia mendesah kecil, kemudian menggeleng. "Adem, nggak panas sama sekali."

Nolan mengangguk paham, lalu sorot matanya beralih kepada Ragas. "Lo Gas, cek ketek Elang, panas atau eng—

"Ogah!" sahut Ragas cepat, memotong ucapan Nolan yang belum selesai. Ragas menatap Nolan garang.

"Belum juga selesai," protes Nolan.

"Coba deh cek otaknya, barangkali belum dikasih oli. Aneh, ini benar-benar aneh. Nggak mungkin nih babon ngajak ke perpus." Nolan geleng-geleng kepala setelah selesai berucap. Lalu ia menatap Miko.

"Miko, lo kan pinter. Menurut lo ada apa dengan teman bobrok kita yang satu ini? Tumben kali ngajak ke perpus. Coba deh keluarkan pendapat lo."

Sebelum Miko sempat mengucapkan kata, Elang sudah bangkit dari duduknya dengan gerakan sarkas, membuat keempat cowok itu lantas menatapnya bingung. Elang bertolak pinggang, memercikkan sorot mata tidak sukanya pada mereka, terutama Nolan.

"Ya ampun gusti pangeran, lo semua berdosa banget. Gue ke perpus aja dicurigai sampai segitunya. Gimana kalo gue berselancar ke surga, udah kejang-kejang aja deh lo semua!" Elang protes.

"Bukan gitu, tapi aneh aja," ucap Miko. Saka dan Nolan pun mengangguk setuju.

"Ya nggak salah lah kalo curiga, lo kan nggak pernah belajar. Ulangan aja minta sontekan gue." Ragas membalas tajam, memperkuat pernyataan bahwa tujuan Elang mau pergi ke perpustakaan itu adalah suatu keanehan yang patut dicurigai.

Elang mencebikkan bibirnya. "Sok-sokan hakimi gue, lo sendiri aja minta sontekan Miko. Di sini yang ngerjain soal tuh cuma Miko, terus jawabannya muter ke kelas. Dan liciknya, gue yang selalu dapet jawaban terakhir yang kertasnya udah ancur kayak mukanya Nolan."

"Gue teros!" ujar Nolan sambil menggebrak meja dengan jengkel. Elang tidak peduli, ia mengendikkan bahu acuh.

"Nasib lo lah dapet terakhir," ujar Saka.

Elang tersenyum kecut sambil mengelus dadanya naik turun. "Gini amat jadi murid buangan. Nggak ada yang butuh. Lihat aja nanti masa depan gue, bakal sukses jaya! Gue bakal jadi bos!"

"Bos ganja!" balas Ragas spontan, membuat Elang secara refleks mengetuk kepala Ragas saking kesalnya. Ragas mengumpat dan mengaduh kesakitan.

"Doa lo nggak banget," ucap Elang. "Udah ah, gue mau ke perpus. Ada yang mau ikut nggak?"

"Serius lo? Kesambet apaan sih?" Nolan terheran-heran. Sumpah, sampai detik ini ia masih curiga dengan Elang yang tiba-tiba berubah jadi giat belajar.

"Khilaf lo nyeremin Lang," ujar Saka.

"Tapi gue dukung kok. Biarin Elang belajar biar pinter, kan masa depannya mau jadi bos. Iya nggak Lang?"

Elang mengacungkan jempolnya kepada Miko. "Nah gini nih yang namanya sahabat gue. Miko the best, aku sayang kamu!"

"Dih!" Miko melotot kepada Elang.

Elang hanya nyengir kecil. "Gue emang cita-cita jadi bos besar sih. Tapi gue nggak mau belajar. Tujuan gue ke perpus juga bukan karena itu."

"Lah terus?" tanya Saka penasaran.

"Mau cari WI-FI lah, kan cuma di perpustakaan yang jaringan WI-FI-nya lancar. Buat streaming juga nggak macet. Kalo nggak ada yang mau ikut ya udah, gue pergi dulu."

Elang langsung berjalan keluar dari kelas dengan tampang lempengnya, meninggalkan para sohibnya yang sedang menatap satu sama lain.

Nolan berdehem. "Ingatkan gue buat nyewa tempat. Pulang sekolah kita langsung sikat aja tuh anak. Greget sendiri gue!"

***

Gara-gara ucapan Lola saat pelajaran tadi, yang mengingatkan bahkan Elata masih punya tanggungan minta maaf, membuat senyuman Elata yang semula bermain dibibirnya, kini luntur seketika. Ia jadi bad mood, padahal saja sebelumnya ia sangat senang.

Elata harus minta maaf kepada Brian. Entah kenapa hal ini merasa sangat sulit Elata lakukan daripada meminta maaf kepada Nolan beberapa saat yang lalu.

Brian. Mengucapkan nama itu saja sudah membuat Elata meringis. Ia malu dan pastinya merasa gugup tingkat akut. Secara juga Brian adalah cowok yang Elata taksir. Bagaimana caranya Elata melakukan itu? Pasti rasanya canggung banget. Belum lagi detak jantungnya yang mungkin tidak terkendali.

"Buruan deh lo pergi ke perpustakaan, gue yakin kak Brian ada di sana." Ninik berseru. "Tinggal satu lagi Ta, terus lo bisa bebas dan nggak mikir apapun lagi."

Desta mengangguk. "Nah bener tuh, daripada lo kepikiran terus, kan?"

"Ah nggak bisa!" Elata membalasnya cepat sambil memperlihatkan raut wajah cemberutnya. Bibirnya menekuk. "Ini bahkan lebih sulit dari minta maaf sama kak Nolan!"

Lola berdehem. "Lah terus? Lo mau mengabaikan itu gitu aja? Nggak, kan?"

"Iya tapi gimana dong? Gue malu sama kak Brian!" protes Elata.

"Ngapain malu sih? Lo kan naksir berat tuh sama kak Brian. Tinggal sikat aja deh, sekalian modus. Siapa tau kak Brian juga nyantol sama lo deh," sahut Tika. Ikut menuding.

"Nggak semudah itu!"

"Terserah lo deh. Pusing sendiri gue. Ini kita niatnya baik loh mau bantuin lo. Kita kasih saran kayak gini karena kita sayang dan peduli sama lo Ta." Lola menatap manik Elata, diusapnya punggung tangan Elata pelan.

"Setuju tuh, sana buruan minta maaf," ujar Desta. Mendesak.

"Yuk kita pergi ke kantin!" Tika, yang sudah berdiri dari duduknya langsung mengajak teman-temannya. Elata melotot lebar ketika melihat Desta, Lola, dan Ninik yang sudah ikut berdiri. Siap pergi ke kantin.

Sebelum Elata mengangkat bokongnya dari kursi, secara mendadak Ninik menghentikan pergerakan Elata dengan suara tajamnya.

"Lo nggak boleh ikut!"

Desta mengangguk. "Betul, lo nggak usah ikut!"

Elata membantah. "Kok gitu sih? Gue kan pengin makan juga. Kok lo semua jadi kayak gini sama gue? Nggak adil."

"Lo minta maaf dulu sama kak Brian, baru lo boleh gabung kita di kantin. Jangan ikut kita sebelum lo kelarin semua masalah lo itu."

Ucapan Lola membuat Elata mencebikkan bibirnya. Tega sekali teman-temannya itu.

"Tapi kan gue laper!"

"Lo boleh ke kantin, tapi jangan gabung sama kita dulu. Males tau, lagi kumpul enak-enak, terus lo malah diem sambil mikir gimana caranya minta maaf. Dahlah pusing. Urus aja dulu masalah lo sama kak Brian."

"Tap—

"Yuk gaes cabut!" Tika memberikan komando kepada teman-temannya untuk keluar dari kelas. Yang segera diangguki dengan cepat. Elata yang semula pikir mereka hanya becanda untuk meninggalkan dirinya untuk pergi kantin, sekarang ia percaya. Lihat, mereka beneran pergi!

"Dadah Elata, semoga berhasil!" Lola melambaikan tangannya kepada Elata. Yang dibalas Elata dengan putaran bola mata.

"Fighting Elata!"

"Good luck Elata!"

Elata mendengkus kasar. "Nyenyenyenyenye!"

Nolan & ElataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang