dua belas

84 12 1
                                    

"YA ampun Elata, lo yang bebas dari masalah, gue yang seneng banget masa. Selamat, ya!" Lola berseru heboh, disusul memberikan Elata pelukan eratnya. Sampai Elata kesulitan untuk bernapas.

"Eh La udah dong meluknya, tuh Elata udah pucet hampir mati gitu," tegur Desta sambil menarik tangan Lola agar segera menjauh dari Elata.

Lola kini melepaskan pelukannya, lalu nyengir kecil kepada Elata yang sedang mengatur napasnya. Lola benar-benar hampir membunuhnya.

"Emang ngeselin lo La, sakit nih dada gue!" protes Elata seraya menatap Lola tajam.

Lola maju satu langkah mendekati Elata, lalu menyubit wajah sahabatnya itu dengan gemas. "Maafin gue, nggak sengaja kok."

"Iya iya gue maafin," sahut Elata cuek, sedikit tidak peduli. Kemudian, Elata menyentak tangan Lola yang masih saja bermain di wajahnya. Bisa-bisa wajah kinclong Elata langsung bruntusan karena terkena tangan kotor milik Lola.

"Eh guys, untuk merayakan Elata yang baru aja terbebas dari masalah, yuk kita main truth or dare? Mumpung belum masuk juga nih."

Elata membesarkan bola matanya ketika suara Ninik menggema. Tanpa sadar Elata sudah menggeleng keras. Ia tidak suka permainan satu ini. "Jangan aneh-aneh deh, gue nggak se—

Belum sempat Elata menyelesaikan ucapannya, Lola, Desta, dan Tika sudah berteriak 'setuju' secara berbarengan. Elata kini mendengkus, selain kalah jumlah voting, Elata juga kalah untuk mendapatkan teman dukungan. Semuanya berpihak kepala Ninik. Ini semua benar-benar tidak adil.

"Gue nggak ikut." Elata membalas singkat. Sudah bilang ia benci sekali dengan permainan itu. Dulu, sewaktu masih SMP, Elata pernah di suruh untuk memanjat pohon yang berada di sekolahnya. Pipi Elata langsung merah padam mengingat peristiwa itu. Ia akan menolak permainan tidak jelas ini.

"Permintaan lo kita bantah, nggak boleh ada yang nggak ikut. Biar adil semuanya harus ikut," seru Tika, yang didukung anggukan oleh Ninik, Desta dan Lola. Membuat Elata langsung melotot.

"Nggak mau, gue benci permainan itu. Lo semua kok maksa gue sih?" Bibir Elata sudah mencebik kesal, lalu ia menatap tajam satu persatu sahabatnya. Elata terlihat sedang menahan kesal.

"Ini permainan kan emang buat lo Ta. Ayolah jangan gini, cuma main-main doang kok. Daripada suntuk, kan?" Desta berucap. "Iya nggak?"

"Bener tuh!" sahut Ninik.

"Gue tetap nggak mau," bantah Elata mentah-mentah.

Desta mendengkus kasar, lalu ia menatap Elata. Dan sebuah ide langsung mampir ke kepalanya. Ia tersenyum lebar. "Oke kalo lo nggak mau, tapi jangan harap lo bisa ke kantin sama kita."

"Gu—

"Satu lagi," Desta buru-buru memotong ucapan Elata yang belum selesai. Ia memasang senyuman misterius. Baik Elata dan lainnya menatap Desta ingin tahu. "Jangan seneng dulu Ta, lo emang bisa ke kantin tanpa kita. Tapi jangan harap lo dapet sontekan dari Ninik."

Elata rasanya ingin mencekik leher Desta sekarang juga. Bisa-bisanya temennya mengancam seperti itu! Ini benar-benar tidak adil. Elata tidak bisa apa-apa tanpa Ninik. Bukan hanya dirinya saja, tapi satu kelas juga bergantung kepada Ninik. Hanya Ninik yang paling pintar di kelas. Sebut saja Ninik gudang jawaban semua soal.

Nolan & ElataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang