Jumpa Pertama

741 98 2
                                    

Menjadi janda di umur 27 tahun itu tidak mudah. Belum tahu saja, rasanya menghadapi tatapan menghakimi dari ibu-ibu tua maupun muda seraya memastikan suami mereka berada dibawah kekapannya. Yaelah, Bu, dikira aku singa kali ya, siap menerkam mangsa dimana dan kapan saja?

Meski sudah mengira akan berat, setahun lalu, saat umurku genap 27 tahun, aku memilih mengakhiri pernikahanku yang baru berumur dua bulan. Ibarat ibu hamil, ruh bayinya saja belum ditiupkan, eh sudah keguguran. Sedih? Perasaan sedih sudah tak terkatakan lagi. Namun, pasti, ibu tersebut akan pergi ke dokter dan disarankankan untuk kuret kan? Karena, untuk apa mempertahankannya di dalam perut? Hanya akan menganggu kesehatan. Sama sepertiku, untuk apa mempertahankan laki-laki yang katanya suamiku, tapi malah main gila sama mantannya? Hanya akan menganggu kewarasanku.

Bukan cuma dianggap janda kembang pengancam rumah tangga orang lain, aku juga harus rela dinyinyirin tetangga atau masuk dalam bisik-bisik rekan kerja. Biasanya mereka bertanya-tanya, kenapa ada, baru dua bulan pernikahan, yang biasanya lagi hangat-hangatnya, malah ada yang selingkuh sampai bercerai? Keabsahanku sebagai wanita pun dipertanyakan. Bukan cuma itu, untuk melanjutkan kisah cinta baru akan menjadi perkara besar. Kamu akan terlalu muda jika harus disandingkan dengan bapak-bapak duda beranak banyak. Namun, juga akan menjadi sangat kontroversial kalau mengharapkan eligible bachelor untuk berada disampingmu. Lain lagi, kalau  tidak berhati-hati, bisa-bisa malah berakhir dengan pelaku poligami.

Sudah dibilang, menjadi janda muda itu tidak mudah. Dilan saja tidak sanggup, apalagi Milea. Makanya, ketika ada seorang duda berbalita satu, berpenghasilan tinggi dan berpenampilan necis layaknya eligible bachelor, mama tidak segan-segan meraupnya kedalam genggaman agar dikenalkan kepadaku. Selama seminggu terakhir, mama sudah mewanti-wantiku untuk berpenampilan menarik ketika sebuah family gathering diselenggarakan hari ini di sebuah vila di puncak, milik kedua orang tuaku.

Aku juga yakin, mama pasti sudah mendaftar menjadi agen FBI, agar bisa menyelidiki latar belakang si prospeknya ini. Karena, fakta bahwa dia adalah duda cerai hidup, membuatku sedikit terkejut. Mama itu sangat pemilih, apalagi setelah kejadian perceraianku. Mama jadi sangat selektif mengenai pendamping. Makanya, ketika mama tetap mengundangnya hari ini, walaupun aku tidak tahu dan tidak mau tahu alasan perceraiannya yang sesungguhnya, setidaknya pasti laki-laki itu tidak selingkuh, bukan pelaku KDRT terlebih lagi seorang kriminal.

Mau tidak mau—ya, sebenarnya mau sih. Aku menurut saja ketika mama memaksaku harus terus berada dalam jangkauan pandangnya sembari menunggu laki-laki itu datang. Ketika Mama menunjukkan binar mata yang gemerlap, merentangkan tangannya, dan mengucapkan 'hai' yang cukup heboh sambil melangkahkan kaki ke arah pintu, aku tahu, dia telah datang. Aku memutar arah pandangku mengikuti arah mama berjalan.

Eng i eng....

Bagai disambar petir sambil melihat pocong, mataku membelalak hampir keluar dari tubuhku. Kulihat Mama bercipika-cipiki dengan seorang wanita sepantarannya. Dugaanku itu adalah temannya alias ibu dari laki-laki yang akan dikenalkan padaku. Setelah mama mencolek pipi balita imut yang digendong lelaki bertubuh atletis itu, mama segera berlari kecil menghampiriku. Ia menarik tubuhku mendekati keluarga tersebut.

"Mama, dia bosku," cicitku dari belakang. Mama sempat berhenti sebentar dan menoleh bingung ke arahku. "Bos-mu yang jenius itu?" tanyanya.

Aku menggeleng. Dia lebih bos dari bosku yang jenius itu. Bahkan lebih bos lagi dari bosnya bosku yang jenius. Masalahnya, bosku yang jenius itu saja selalu jiper kalau harus berhubungan dengan si bapak duda keren ini. Aku memang tidak pernah behubungan langsung dengan dia, karena berbeda departemen. Walaupun, dalam beberapa aspek, departemen kami masih erat hubungannya. Namun, bukan berarti aku tidak mengetahui tentang dia. Kami beberapa kali bertemu di acara rumah sakit—kantorku—dan ruangan kami pun berada di lantai yang sama. Aku juga yakin, kalaupun dia tidak tahu namaku, dia pasti menandai wajahku.

ADRONITISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang