Aku berdecak menatap Wira yang makan dengan santai setelah mengluarkan pertanyaan yang membuat aku keki. Masa aku dikira belum move-on dari pengkhianat satu itu! Hih! Rugi banyak dong aku.
"Gila aja!" pekikku. Wira menelan makanannya. Dia menyedot teh manis dingin milikku. "Eh! Bagus banget." Aku mencibir.
"Bagi loh. Pelit kali pun." Wira mengejek. "Ya, tahu sih aku. Enggak mungkin kau belum move-on. Terus, kenapa gitu banget sama Razka?"
Aku mengernyit. "Gitu apanya sih Wir?"
"Lo menutup diri, Li." Lima tahun tinggal di Jakarta, sebenarnya Wira sudah fasih lah meniru gaya obrolan anak-anak di sini. "Razka kurang apa coba? Kenapa enggak coba buka hati?"
"Ribet, Wir. Dia bos juga. Lo juga sotoy, kata siapa gue enggak buka hati?"
"Perasaan HR enggak ada buat peraturan enggak boleh ada romantika deh." Ya iya. Habisnya sesama dokter sering saling embat. Jadi, ribet juga kalau banyak dokter yang resign karena pasangannya berada satu rumah sakit. "Ya tahu lah. It's been a year. Belum pernah aku liat kau jalan sama cowok. Baru Razka doang. Itu pun lo ngeliat dia kaya ngeliat kucing. Bawaannya pengen lari." Aku benci kucing, btw. Mungkin benci terlalu kasar tapi aku bisa lari terbirit-birit kalau ada mereka di dekatku. Aku diam saja, karena apa yang dia bilang betul semua. Pinter juga ini anak mengobservasi. Pantes lulus cumlaude.
Wira menatapku dalam. Aku jadi salah tingkah ditatap begitu. Aku mendorong keningnya agar dia berhenti memperhatikanku. "Li, enggak baik gini terus. Coba aja, mungkin dia emang jodoh lo. Enggak akan pernah tahu cocok apa enggak kalau enggak dicobain. Kalau enggak saling kenal."
"Sudah saling kenal aja bisa enggak jodoh," celetukku. Teringat kisah cintaku selama kuliah kandas dalam dua bulan pernikahan.
"Ya itu! Apa lagi belum di coba." Wira membenarkan. "Aku pengen liat kau senang, Li. Sudah cukup lah sedih-sedihnya."
I know. I know. Kalimat itu sudah sering diutarakan oleh Wira sejak aku bercerai. Bahkan, sahabat mantan suamiku ini malah berpihak padaku dan memilih memusuhi sahabatnya karena mengkhianatiku. Waktu kutanya kenapa, Wira cuma bilang, dia punya tiga saudara perempuan dan dia tidak pernah terima kalau hal yang sama sampai terjadi pada saudaranya. Jadi, dia enggak mau berteman dengan pengkhianat. Takut karmanya ikut temenan. Tidak masuk akal.
"Sok tahu-nya dikurang-kurangi lah, Bang!" Aku menarik tanganku yang digenggam Wira. "Siapa yang sedih. Lagi pula, mau senang enggak harus sama Razka kan? Enggak baik menggantungkan kebahagiaan sama orang lain."
Wira menggeleng. Dia menjitak kepalaku dengan kuat. Aku mengaduh sakit dan membalas menendang tulang keringnya dengan sepatu hak tinggiku dari bawah meja. Lagi pula, ini anak tumben-tumbenan membahas beginian di tengah-tengah kantin rumah sakit begini. "Bahagia dengan diri sendiri sama memaksa bahagia dalam kesendiran itu beda jauh, woi!"
Sial. Nampol juga nih kalimat Wira!
•••
Bermodal kenekatan setelah sesi siraman rohani dari Wira, saat pulang kerja, aku tidak berbelok ke arah lift melainkan terus menuju lorong departemen legal. Sebenarnya, aku bingung sih, kenapa ruangan Razka berada satu lantai dengan departemen legal, bukan bersamaan dengan jajaran eksekutif dan direktur lainnya. Aku bertanya pada beberapa orang yang berpapasan denganku mengenai posisi ruangan Razka. Mereka menunjukkan sebuah ruangan yang paling lebar di ujung lorong. Sampai di tempat yang di arahkan, ada seorang wanita yang sedang bekerja di sepetak meja konter di seberang ruangan itu. Dia sekretarisnya bukan ya? Bodoh amat. Tanya saja lah.

KAMU SEDANG MEMBACA
ADRONITIS
Romanzi rosa / ChickLitIni bukan tentang kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Ini juga bukan tentang dia yang tidak bisa bergerak maju. Apalagi, cerita tentang musuh jadi cinta, jelas bukan. Ini kisah mereka yang berusaha menyejajarkan langkah dan tujuan, meski ego mem...