Terbuka

664 102 6
                                    

Aku terus mempercepat langkah ketika kulihat di ujung lorong sana Razka keluar dari ruangannya. Jangan sampe dia lihat aku. Aku terus menekan tombol lift berharap lift cepat terbuka. Ting. Suara elevator berdenting. Aku masuk dan segera menekan tombol tutup pintu. Fiuh. Tepat waktu.

Kantin rumah sakit bukan pilihan baik. Rasa masakannya biasa saja. Apalagi kalau makan sendirian begini, padahal biasanya ghibah membuat makanan terasa semakin enak karena nafsu. Aku terkekeh. Hanya saja bagaimana lagi? Eka dan Anggi sedang keluar bertemu dengan vendor. Mbak Grace sudah janji makan siang dengan suaminya yang seorang dokter di rumah sakit ini. Masa iya aku makan berdua sama Mas Nadjib? Bisa digetok sama istrinya yang terkenal galak bin posesif itu. Aku juga tidak terlalu dekat dengan anggota sub bagian lain. Paling Wira si bapak manajer yang hari ini jadwal meetingnya padat merayap kaya jalanan ibukota.

Aku hendak menyendok nasi ayam woku ke dalam mulut ketika pria bertubuh atletis duduk di sampingku. Aku menunduk. Sedang apa dia di sini? "Eh, Pak Razka. Ada apa ya?" Aku menjauhkan posisi kami.

"Lika." Dia tampak keberatan dengan kelakuanku. "Emang masih jaman backstreet?" sindirnya. "Kita enggak melanggar apa-apa loh."

Ya, dia sih enak, pujaan semua orang. Lah, aku? Aku yang dihina-dina sama semua perempuan di sini. Males banget enggak sih jadi bahan gosip orang-orang? Liat aja tuh mata beberapa suster dan koas mulai malu-malu melirik kami. Hih.

"Pak, saya balik duluan ya. Kerjaan numpuk." Aku beralasan. Padahal makananku baru tersentuh 1/4 dan perutku masih sangat lapar.

Razka mengalah. Dia juga tampak kesal. "Duduk. Kamu selesaikan makannya. Kita bicara nanti," titahnya. Laki-laki itu bangkit dan meninggalkanku. Aku mengaduk makananku malas.

•••

Saat Yaris merahku memasuki parkiran apartemen, aku sudah melihat mobil Razka terparkir gagah di salah satu spotnya. Aku sengaja masuk dari lobi untuk memastikan posisi Razka. Benar saja, laki-laki itu duduk di sana seraya terpekur pada gawainya. Aku menutup mata sambil membuang napas, mencoba mengatur emosiku.

"Ka," panggilku. Lelaki itu segera mendongak. "Ayo, naik," ajakku.

Razka mengikutiku berjalan ke arah lift. Tiba sampai di depan pintu besi itu, Razka menggandeng tanganku tepat ketika seorang lelaki tinggi kurus, berkemeja slim-fit dengan tatanan rambut ala model pomade terenyum kepadaku. Aku mengenalinya sebagai tetanggaku. "Mas," sapaku seadanya. Laki-laki itu menyapa balik. Razka menarikku mendekat pada dadanya. Aduh, dasar! Aku merutuk dalam hati. Laki-laki dan rasa kepemilikan mereka. Aku berdecak. Selama di dalam lift pun, Razka tak berhenti menempel padaku. Matanya nyalang mengawasi sekitar. Seakan kalau kedapatan satu lirikan saja dari si mas tetangga, Razka siap menerkam. Aku menyikut Razka, mengodenya agar tidak melakukan hal yang aneh-aneh.

"Ka, apaan sih?!" Nadaku meninggi ketika akhirnya pintu apartemenku tertutup sempurna. Aku segera menghempas tangannya. Razka bersedekap menatapku. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Lalu memilih duduk di sofa. "Kamu mandi aja dulu sana. Nanti kita bicara," katanya. Ia sekarang sibuk memilah siaran televisi.

"Enggak mau!" Aku tidak mengalah. Rumah juga rumahku. Kenapa dia yang mengatur? Padahal ini baru kali ketiga Razka mampir.

"Lika, kamu capek. Mandi dulu sana. Aku enggak kemana-mana." Lah? Apaan sih nih orang. Razka benar-benar memperlakukanku layaknya anaknya. Sehingga membuatku sulit membantahnya. Secepat kilat aku melaksanakan perintahnya.

"Nah, kalau sudah segar begini, kamu enggak emosian lagi." Razka berbicara ketika aku sudah kembali di sampingnya. "Baru deh, enak bahasnya."

ADRONITISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang