Mantan

504 75 8
                                    

Aku merengut sebal. Razka lama sekali sih jemputnya. Mana ditelepon enggak angkat. Katanya sudah dekat tapi kok enggak sampai-sampai. Aku berdecak. Kusilangkan tangan di dada. Kakiku yang berbalut straps heels kuketuk-ketuk. Aku tak sabar. Menunggu adalah pekerjaan paling menjengkelkan. Aku sedang di lobby mall menunggu Razka menjemputku. Kami hendak ke rumah orang tuaku. Razka baru memiliki waktu kosong di sore hari, jadi Sabtu pagi kuhabiskan cuci mata di mall terdekat.

Razka Karunangsakara. Nama itu terpampang beriringan dengan melodi yang berbunyi dari ponselku.

"Lama ya, Razka," protesku.

Dia terkekeh. "Kamu boleh tolongin belikan aku Mocha Frappe di Starbucks enggak? Tunggu di situ aja. Kamu ngopi juga. Nanti kalau sudah sampai, aku kabarin."

Aku mengernyit. Ini pasti akal-akalannya. "Kamu masih jauh ya?  Ngaku!"

"Maaf, Lika. Aku masih dekat rumah nih. Macet." Jadi, dari tadi dia bohong? Berarti tadi, dia belum berangkat dong? Sialan!

"Ah, males. Sudah lah, Razka. Aku pulang saja. Kamu enggak usah jemput."

"Lika...." Ck! Nada otoriter itu lagi.

"Kamu tahu enggak sih, aku tuh sudah nunggu lama!"

"Iya, sayang. Maaf, ya. Janji deh, sebelum kopimu habis, aku sudah sampai." Tanpa menjawab, aku memutuskan sambungan telepon. Walau sebal, tetap saja aku segera beranjak menuruti perintah Razka untuk menunggu di coffee shop yang dimaksud. Baru mau berbalik, aku terpaku melihat seorang laki-laki yang sedang berjalan sambil menelepon. Sedang apa dia sini? Kapan dia kembali? Kenapa dia kembali?! Titik-titik keringat bermunculan di keningku.

Aku terlalu lama termangu hingga matanya menangkap kehadiranku. Dia terhenti. Ponselnya ia turunkan pelan-pelan. Dia tersenyum maklum dan mulai berjalan ke arahku. Aku ingin sekali memghilang, tapi lututku lemas. Kakiku menempel tapi aku tak sanggup bergerak. "Ayunindya Anulika," sapanya. Dia masih saja suka memanggilku dengan nama lengkap. Seperti dulu.

Aku tersenyum. Berharap senyuman bisa membuatku menguasai keadaannya. "Halo! Sudah lama balik ke Jakarta?"

"Baru sebulanan, Nin." Nin for Nindya. Cuma dia satu-satunya orang yang memanggilku Nindya. Dulu, dia ingin menjadi spesial. Sekarang, buat apa lagi? Aku berpaling. Enggan menatap dia. Berani-beraninya dia kembali ke sini!

"Maaf, ya, Nin. I can't keep my promises. Saya enggak bisa apa-apa kalau perusahaan tarik saya ke sini lagi. Lagi pula, saya pikir, Jakarta itu besar, kecil sekali kemungkinan bertemu tanpa sengaja." Aku memutar bola mata ketika menyadari dia bisa membaca pikiranku. Dia dulu memang berjanji akan pergi dari Jakarta. Dia ingin hidupku damai tanpa dia lagi.

"Oh, okay. Kalau gitu, saya duluan," pamitku. Aku malas berlama-lama berbasa-basi dengannya. Lagi pula, buat apa sih dia pakai menegurku?

"Nindya," panggilnya. Ia menghentikan langkahku. Aku enggan berbalik, tapi demi norma kesopanan, aku menghalau semua emosi. Pelan-pelan, aku berputar. Dengan wajah senetral mungkin, aku kembali meladeni lelaki dengan tinggi standar ini. Wajahnya berbentuk bulat tapi dia jauh dari kata chubby. Matanya bulat dikelilingi bulu mata lentik. Hidungnya bangir. Sekarang, dia punya brewok tebal. Dulu memang dia niat sekali pakai segala macam krim penembal brewok. Hari ini dia memakai kaus, celana jin dan jaket kulit. Style kebanggaannya. "Bisa kita bicara sebentar? Saya perlu mengantarkan maaf saya, Nin." Dia menatapku dalam.

Aku mengernyit. Pertanyaanku masih sama. Untuk apalagi sih? Bagiku, semua sudah selesai ketika palu diketuk. Aku tidak menuntut apa-apa hanya ingin dia tak lagi berada di sekitarku. "Anda tidak perlu lagi meminta maaf. Semua sudah selesai di pengadilan." Tubuhku bergetar mendengar ucapanku sendiri. Kami terasa begitu asing, padahal setahun lalu kami masih sering bercumbu. Bahkan, berbicara saja sudah mengenakan panggilan yang begitu formal. Berarti benar 'kan, tidak ada lagi yang perlu dimaafkan? Kami hanyalah dua orang yang tak punya cerita.

ADRONITISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang