Aku tertawa sekilas ketika melihat seorang batita yang bergoyang pinggul dengan lincahnya. Popoknya yang montok membuat gerakannya menghibur. Namun, sedetik kemudian, teman sebayanya datang dan begitu saja menyenggolnya membuat batita perempuan itu terjatuh. Malangnya lagi, si teman sebaya itu kini merebut mainan yang sedari tadi ia genggam dan berhambur ketika ia terjatuh tadi. Teriakan dan pergulatan tidak bisa terhindarkan dan diakhiri dengan tangisan kedua belah pihak. Orang tua mereka buru-buru menghampiri, para Aunty bangkit dan mendadak menjadi badut penghibur. Sementara aku hanya bisa mengernyit melihat kegaduhan itu sambil menutup telinga—tentu saja, dikamuflasekan dengan menyentuh rambut disekitaran telinga.
"So, You're not into kid, huh?"
Aku melirik laki-laki disebelahku. Mampus, gopla 'kan lo, rutukku dalam hati. Ketika banyak perempuan yang insting keibuannya membludak keluar ketika bertemu dengan anak dan bayi. Sayangnya, itu bukan aku. Seringnya, aku merasa kesulitan untuk akur dengan anak-anak. Selalu saja ada kerusuhan yang terjadi setiap aku mendekati mereka, tapi bukan berarti aku anti dengan anak-anak. Aku hanya tidak mau menciptakan perang dunia ketiga. Jadi, lebih baik aku menjaga jarak dari mereka.
"They're cute, tho." Aku mencoba menyelamatkan diri.
"But?" Laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya.
Aku menggeleng. "Enggak pake tapi kok."
Dia mengeluarkan senyum miringnya. "Jadi, karena itu kamu menolak tawaran ibu kamu untuk mengenal saya?"
Aku terperanjat dengan kata-katanya. Aku menoleh ke arah lain mencoba menghindari menjawab pertanyaannya.
"Saya enggak bisa hapus anak saya dari hidup saya," katanya kemudian. "Saya juga tidak mencari sosok yang bisa menjadi ibunya...."
Selesai mencerna ucapannya, aku menggeser duduk untuk memperbesar jarak kami.
"Ck! Bukan begitu maksudnya."
Dia kembali merapat padaku. Namun, pandangannya fokus pada seorang balita perempuan yang sedari tadi sibuk bermain bongkar pasang. Ia tak begitu peduli dengan dua teman sepantarannya yang sedari tadi bergumul dan menangis. "Dia sudah punya ibu, dan saya tahu, pendamping saya nanti tidak akan mungkin menggantikan sosok itu."
Aku mengangguk. Benar juga. Sebaik-baiknya ibu tiri, pasti seorang anak tetap punya harapan besar akan hubungan baik dengan ibu kandungnya.
"Saya cuma butuh pendamping yang mengerti bahwa saya punya bagage, dan bisa menghargai itu. Karena kalau dia bisa menghargai kehadiran anak saya, dia pasti menempatkan diri. At least, she's not tryin' to seperate us." Dia berdehem, kemudian melanjutkan, "And I believe, you're nothing like a cruel, cold-hearted step mother, are you?"
Eh-eh, gimana? Gimana? Coba ulang, otakku berbisik.
"Jadi, Ayunindya Anulika, kamu mau ya untuk
saya dekati agar kita bisa mengenal lebih jauh?"Hah? Duda keren di sampingku ini, ngomong apa sih?! Kok mendadak aku jadi bego?

KAMU SEDANG MEMBACA
ADRONITIS
ChickLitIni bukan tentang kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Ini juga bukan tentang dia yang tidak bisa bergerak maju. Apalagi, cerita tentang musuh jadi cinta, jelas bukan. Ini kisah mereka yang berusaha menyejajarkan langkah dan tujuan, meski ego mem...