Ulang Tahun

486 89 4
                                    

"Happy birthday!" Teriakan dari ujung lorong membuatku kaget bukan kepalang. Aku yang tadi hanya berjalan pelan kini mengencangkan langkahku. Untungnya departemenku sudah kosong.

Sesampainya aku di depan mesin absensi sidik jari, aku menghardik, "Berisik amat."

Sosok di depanku tertawa. Ia memberikanku jalan untuk melakukan absensi pulang seraya berkata, "Kemek-kemek lah! Enggak mau tahu aku." Kemek-kemek itu artinya traktir makan-makan. Bahasa prokem medan.

Aku menatapnya. Padahal dia yang lebih banyak uang, masih saja minta jatah preman. Ck! Karena kami bekerja di rumah sakit, hari Sabtu masih dihitung hari kerja, walau hanya sampai pukul 11.30. Sekarang, pukul 12.00, memang waktunya makan siang dan rekan-rekan seruanganku sudah pulang lebih dulu. Untung juga tadi aku lembur sebentar, jadi tidak akan ada pecahan botol lain yang mengikut. Ulang tahunku jatuh di akhir bulan, harus mikir ulang kalau mau traktir serombongan.

"Yaudah, yuk. Jangan minta AYCE ya! Hokben aja, deh."

"Enak kali kau. Enggak-enggak, minimal sushi lah. Giliran aku, kau minta Kintan. Enggak ada otaknya, bah!"

Aku terkekeh geli. "Suka hati kau lah, Wir," tutupku.

Setengah jam kemudian, aku dan Pak Wira—kalau berdua akan kupanggil Wira saja—sudah duduk manis di Zenbu Kota Kasablanka. Bapak manajer departemen human resources ini sebenarnya adalah seniorku ketika berkuliah di Psikologi Universitas Sumatera Utara. Karena dia jugalah aku bisa bekerja di RSGM dan karena si cunguk satu ini juga aku bisa berkenalan dengan mantan suamiku. Namun, kami sepakat, ketika di kantor ya profesional saja. Kalau sudah berdua begini, jangan harap! Bahkan, kami lebih senang menggunakan bahasa-bahasa gaul Medan. We are a proud Medan citizen.

Aku sebenarnya lahir di Jakarta. Namun, sejak kelas dua SD aku diboyong Mama pindah ke Medan. Hidup dan besar di Medan, aku lebih menganggap kota itu sebagai kampung halamanku. Ketika aku hampir tamat SMA, Mama yang baru menikah lagi akhirnya kembali ke Jakarta, sementara aku memilih kuliah di Medan saja. Rasanya muluk-muluk aku berharap kuliah di PTN di pulau Jawa apalagi Jakarta, mengingat kerjaanku selama SMA hanya main dan mejeng di Sun Plaza. Bagaimana tidak, wong jaraknya hanya selemparan batu dari sekolahku.

Wira ini asli Medan dan dia tidak punya marga. Wira bukan orang Batak, karena FYI, Medan itu isinya bukan Batak saja. Sebenarnya suku asli Medan itu adalah Melayu. Jadi, bagiku, ya Wira ini bisa dianggap sebagai native kota Medan. Sudah orang Melayu, bergelar Datuk pula. Istana Maimoon itu pun kalau ditarik-tarik silsilahnya masih nyangkut di dia.

Kami bertemu di kampus. Namun, di dalam kecilnya Medan—sebenarnya kota ketiga terbesar sih, tapi tetap kalah sama besarnya Jakarta—Wira yang anak gaul dari sekolah swasta terkenal di sana, sudah sering kudengar namanya. Begitu pun dia. Gini-gini aku anak gaul juga. Apalagi, mantan HTS-annya adalah teman satu sirkelku saat SMA. Makanya, saat bergabung di PEMA, Wira yang menjadi gubernurnya mendaulatku jadi salah satu orang kepercayaannya. Sejak saat itu, persahabatan kami terbentuk. Bahkan, ketika masuk di RSGM pun, pria ini kembali menarikku yang saat itu masih jadi kutu loncat di berbagai biro psikologi.

"Gilak ah gilak! Kawan awak mainnya sekarang sama eksmud aja, bah. Enggak kaleng-kaleng lagi dia. Apalah arti si abang mantan sekarang, ya, Dek?"

Aku memilin tisu dan melemparkan kepada Wira yang duduk disebelahku. "Mulut, enggak usah pesunah kali."

Wira terbahak. Bahkan, beberapa pelanggan yang sedang menikmati makan siang mereka terang-terangan menatap kami. Aku menyikut dada Wira. Telapak tanganku terbuka lebar menutupi wajahku yang bertumpu di sana. "Enggak usah kekeh kali, biasa aja," desisku. Wira terlihat setengah mati menetralkan reaksinya.

ADRONITISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang