Jangan Takut

493 91 5
                                    

Tidak ada pilihan lain selain mengikuti Razka. Tadinya, aku ingin berkilah bahwa aku sedang lembur. Namun, Razka tengah menatap laptopku yang sudah tersusun rapi bersama dengan tasku. Dengan canggung, aku mengangkut tanganku dan Razka sudah keburu membawakan tas laptopku lalu beranjak keluar ruangan.

"Balik duluan, ya, Wir." Razka berpamitan pada Wira ketika sampai di ujung koridor. Aku mengekor di belakang sambil melemparkan senyum kepada pak Wira dan Eka. Melihat senyumku yang pasrah, Eka menatapku ngeri. "Goodluck," bisik Eka ketika aku melewatinya. Sial! Dia pasti curiga.

Lift membawa kami ke basement 1. Razka berhenti dan menungguku agar aku tidak lagi berjalan di belakangnya. Meski kini kami berjalan bersisian, aku tetap memberikan jarak yang wajar terhadapnya dan Razka tetap memimpin arah. Aku tidak tahu dimana dan jenis apa mobilnya. Hingga ia menekan tombol kunci mobil dan BMW X5 di seberang kami berbunyi. Razka bersiap membukakan pintu penumpang, tetapi pandanganku terpekur pada Yaris tahun 2015 yang terparkir di sebelah mobil putih milik Razka.

"Pak," panggilku.

"Saya, Lika?"

Aku merogoh tasku. "Tapi, saya bawa mobil." Aku menunjukkan remote kunci mobil sambil menekannya. Yaris merah di belakang Razka berbunyi. Razka menoleh sebentar ke sumber bunyi, sebelum mendekatiku. Ia memandangku putus asa. "Lika, kamu kenapa setakut itu sih, sama saya?"

Aku menggelengkan kepala. "Saya enggak takut, kok," jawabku dengan mantap.

"Terus? Apa susahnya bilang: Razka, aku bisa pulang sendiri, karena aku bawa mobil atau kalau versi kamu, Pak Razka, saya bawa mobil."

Aku menggaruk tengkukku. "Bapak itu persuasif sekali. Saya sulit nolaknya," akuku.

Razka tertawa. Ia menggeleng-geleng melihatku. "Kalau saya persuasif, kamu enggak akan menolak untuk saya dekati, Lika."

Aku memberengut dan memilih menunduk. Uma Pump by Michael Kors yang kugunakan mendadak lebih menarik untuk dilihat. Lagi-lagi Razka tertawa. "You are unique, Lika. You colored your hair blue, cut it short bob. I mean, that's beautiful." Plis, pipi jangan merah, plis, bisikku dalam hati.

"You really know how to dressed to attracts people. You have this independent, mysterious yet stunning woman image, but i never thought you're this ...."

"What?" Aku mendesak Razka menyelesaikan kalimat ngalor ngidulnya. Dia mau memuji atau apa sih?

"Polos. Kamu itu polos, banget, Lika. Berbanding terbalik dengan gaya kamu."

"Appearances can be deceiving, Pak," cicitku.

"I know, right! Tapi, di situ uniknya kamu. Saya suka."

Sah! Sah sudah pipiku bersemu merah. You are really good with words, Razka. Aku semakin menunduk membuat rambut bob sepundakku semakin menutupi wajah. Kakiku menendang-nendang kecil pertanda aku salah tingkah. Sial! Aku masih mendengar Razka tertawa gemas. Berdehem, Razka meredam kekehannya. "Jadi, ini gimana? Kamu mau pulang sendiri?"

Yakin aku sudah bisa mengendalikan ekspresiku, aku mengangkat kepalaku menatap Razka. "Iya, dong, Pak. Masa mobilnya saya tinggal di sini." Namun, mengingat Razka sudah mau berbaik hati berniat mengantarku pulang hari ini, aku pun menawarkan opsi, "gantinya, besok aja Bapak jemput saya, gimana?"

Tunggu! Seperti ada yang salah dengan ucapanku? Iyakan?

"Jadi, kamu mau saya jemput nih?"

Eh, tuh 'kan? Kenapa sekarang jadi aku yang terkesan menawarkan diri? "Hah? Eh, itu maksud saya, anu, enggak usah...."

ADRONITISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang