Belum Sepenuhnya Bebas

99 11 3
                                    

BAB 9

Aras terkekeh kecil membuat Ridwan mengernyit bingung. "Saya becanda, Om. Mana mungkin saya tiba-tiba punya saudara," katanya.

Ridwan tersenyum kikuk mendengar ucapan Aras. Namun, sebisa mungkin ia tetap tenang dan tak membuat Aras curiga.

"Memangnya kamu tidak punya keluarga?"

Aras tersenyum tipis lantas menggeleng sebagai jawaban. Pertanyaan itu tak asing bagi indra pendengarannya. "Kalau gitu, saya permisi dulu, Om. Sekali lagi terima kasih," kata Aras.

Saat Aras hendak pergi, Ridwan menahan tangannya dan berkata, "Biar saya antar kamu pulang."

"Nggak usah, Om. Saya nggak suka berhutang budi banyak sama orang. Cukup yang tadi aja," katanya.

"Nggak papa. Biar saya antar kamu."

Aras diam sejenak, berpikir haruskah menerima tawaran pria asing ini? Namun, ia yakin pria ini bukanlah orang jahat. Sorot matanya saja penuh kepedulian dan kasih sayang. Aras menyukainya.

"Oke, kalau itu nggak ngerepotin, Om," putus Aras membuat Ridwan tersenyum.

"Kalau gitu, kamu tunggu di mobil saya. Saya harus bicara sebentar dengan teman kamu," kata Ridwan yang kemudian menghampiri Haikal yang berada di belakang mereka.

"Bisa saya bicara dengan kamu?" tanya Ridwan sopan.

Haikal mengangguk sopan, sembari berkata, "Boleh, Om."

Ridwan dan Haikal sedikit menjauh dari Aras. Meskipun Aras acuh dengan kedua lelaki itu, tetapi Ridwan tetap berjaga-jaga agar Aras tak mendengarnya.

"Saya tau kalau kamu teman Aras dari kecil, dan kamu masih tetangga dia. Hari ini kamu berhutang budi pada saya karena sudah membantu membebaskan kamu," tutur Ridwan.

"Iya, Om. Terima kasih," kata Haikal.

"Saya punya permintaan sebagai ucapan terima kasih kamu. Bisa kamu mewujudkannya?"

"P-permintaan apa, Om?"

"Saya ingin kamu melakukan beberapa hal. Bisa?"

***

Mobil Ridwan sampai di depan gerbang rumah sederhana milik Aras. Namun, ia tak berniat turun dari mobil dan hanya menatap rumah itu. Rumah yang menjadi saksi terjadinya kejadian kelam di masa lalu.

Aras yang melihat Ridwan terdiam dan terus menatap rumahnya, pun menaikkan sebelah alisnya dan menatap heran. "Om, kenapa?" tanyanya.

Ridwan tak menjawab. Pria itu mengabaikan pertanyaan Aras karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai kemudian, Aras memegang lengan pria itu. "Om, nggak papa?"

Ridwan terperanjat, lalu menatap Aras sembari tersenyum. "Eh, nggak papa," jawabnya.

Aras hanya mengangguk kecil, lalu membuka seat belt. "Kalau gitu Aras duluan, Om. Makasih udah bantu Aras, terus udah anterin Aras juga."

Ridwan mengangguk tanpa menghilangkan senyum manisnya. Tangannya bergerak mengusap puncak kepala Aras dengan lembut. "Iya sama-sama. Jangan lupa, kalau ada apa-apa langsung hubungin saya."

"Iya," sahut Aras dengan senyum tipisnya.

Ia bisa merasakan ketulusan pria di depannya itu. Hatinya merasa sangat hangat, dan bahkan merasa begitu dekat, seolah ada ikatan antara dirinya dengan Ridwan.

Aras turun setelah Ridwan berhenti mengusap kepalanya. Ia kemudian berjalan ke depan pintu Ridwan. "Sekali lagi makasih, Om. Hati-hati di jalan. Saya masuk duluan," katanya setelah Ridwan menurunkan jendelanya.

Laras: Never Be AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang