BAB 18
"Kenapa Nenek harus tinggalin Aras sendiri? Aras takut. Aras nggak punya sandaran lagi, nggak ada orang yang mau denger cerita Aras, nggak asa orang yang mau temenin Aras. Nggak ada orang yang hibur Aras waktu sedih. Aras bener-bener sendiri, Nek. Aras cape kayak gini," keluhnya.
Sejak dulu, Aras selalu bergantung pada sang nenek. Setiap kali mendapat perlakuan butuk sang bunda, ia selalu memanggil neneknya dan meminta tolong. Apa pun itu, semua selalu nenek.
Aras memeluk nisan neneknya, menangis dan terus mengadu tentang kelanjutna hidup setelah sang nenek meninggalkannya. Tentang penyesalannya yang tak bisa menyadari kesakitan sang nenek, hingga rasa lelahnya menghadapi sikap sang bunda, dan kesabarannya menunggu sang ayah.
"Aras sendiri di dunia ini, Nek. Aras pengen ikut Nenek."
"Lo nggak sendiri. Lo masih punya gue buat jadi sandaran di saat lo sedih. Punya gue yang bisa lo jadiin tumpuan saat lo rapuh. Gue akan menjadi prisai di saat orang berniat nusuk lo. Lo nggak sendiri di dunia ini."
Tangis Aras seketika berhenti. Ia menoleh ke belakang saat mendengar suara yang begitu familier. Suara yang akhir-akhir ini mengusik telinganya, dan mengatakan jika dirinya akan menjadi teman Aras.
Aras mengusap sisa air mata di pipinya dengan kasar, lalu menatap orang itu dengan tatapan tajamnya. Tak peduli jika orang itu akan mengatakannya jutek. "Ngapain lo di sini?"
Babas sama sekali tak menjawab pertanyaan Aras. Ia justru melangkahkan kakinya untuk jongkok di samping gadis itu. Bahkan, ia tak peduli dengan tatapan tajam yang Aras berikan, juga tatapan heran dari gadis itu.
"Lo mau ngapain, sih?" tanya Aras lagi saat melihat Babas jongkok dan mengangkat kedua tangannya, lalu menutup mata hendak berdoa.
Babas masih tak menjawab. Ia fokus berdoa membuat Aras kesal. Diabaikan tidaklah mengenakan, rasanya menyakitkan dan menusuk sampai relung terdalam. Setidaknya, itulah yang dirasakannya.
"Lo ngeselin banget jadi cowok!" ketus Aras.
Babas selesai berdoa dan mengusap wajahnya pelan. Ia kemudian menatap Aras yang ada di sampingnya. "Lo nggak liat, gue lagi berdoa buat nenek lo?" tanyanya.
"Sekalian minta restu buat naklukin hati lo, sih," lanjutnya dengan kekekah kecil.
Aras memutar bola matanya jengah. Masih dengan wajah datarnya, ia kembali menatap Babas tajam dan bertanya, "Tau dari mana kalau gue di sini? Lo ngikutin gue, ya? Dasar penguntit!"
Babas terkekeh pelan dan kemudian menyentil dahi Aras pelan. "Tau aja sih, kalau gue buntutin lo? Hebat. Jadi makin sayang, deh," godanya.
Aras menautkan kedua alisnya. Ia geli mendengar ucapan Babas barusan. "Kenapa lo gangguin gue terus, sih? Nggak di sekolah. Nggak di luar sekolah. Bisanya cuman jadi pengganggu!" kesalnya.
Aras bangkit dan hendak pergi meninggalkan Babas, tetapi lelaki itu menarik tangannya membuat Aras mengurungkan niatnya. Wajah Aras sudah terlihat kesal dengan mata sembap dan hidung merah akibat menangis. Ia kemudian menepis tangan Babas dan kemudian jongkok kembali.
"Nek, Aras pulang dulu, ya. Nanti Aras ke sini lagi. Sekarang ada penguntit di samping Aras, udah kayak hantu," pamit Aras sambil mengusap nisan sang nenek.
"Assalamualaikum, Nek."
Aras mengecup nisan itu dan kemudian berdiri. Ia menatap Babas cukup lama sampai akhirnya mendelikkan matanya lalu pergi meninggalkan lelaki itu yang masih jongkok. "Dasar penguntit!" makinya.
Babas berdiri sembari menatap punggung Aras yang semakin menjauh. Ia kemudian berteriak, "Sampai ketemu besok di depan rumah. Gue jemput lo biar nggak kesiangan. Besok senin, jangan begadang! Love you, Aras!"
Langkah Aras terhenti. Gadis itu berbalik lalu menatap Babas yang tersenyum manis padanya. "Jangan ke rumah gue atau lo pulang tinggal nama!" ancamnya.
"Gue bakalan tetep ke rumah lo!"
"Terserah!"
Aras kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan kawasan makam. Meninggalkan Babas yang menyebalkan. Padahal, ia masih merindukan sang nenek, tetapi karena kehadiran lelaki itu membuatnya tak nyaman.
Babas menatap kepergian gadis itu cukup lama. Sampai kemudian, ia kembali jongkok di depan makam nenek Aras. Tangannya mengusap nisan itu lembut, lalu berkata, "Bu, kenalin, saya Babas. Ibu tenang aja ya, Aras nggak akan pernah sendiri lagi. Saya akan selalu jaga cucu ibu. Saya janji akan mengembalikan senyum Aras."
"Selamat ulang tahun, Bu. Tenang di sana."
***
"Saya sengaja datang ke sini untuk membahas hal yang sudah kita bicarakan beberapa hari yang lalu."
Satu keluarga itu masih diam dan mendengarkan perkataan pria muda berkemeja biru dongker itu. Pria itu datang mendatangi keluarga beranggotakan ayah, ibu dan seorang remaja yang kini duduk di bangku SMA kelas dua. Pria dan remaja itu harus menyepakati perjanjian mereka beberapa hari yang lalu.
"Saya sudah membuat surat perjanjian agar bisa menguntungkan kedua belah pihak. Silakan dilihat."
Pria itu menyodorkan dua buah map berwarna biru tua kepada kepala rumah tangga itu. Map berisikan perjanjian antara kedua belah pihak.
"Di situ sudah tertera apa yang saya inginkan dan apa yang harus putra kalian lakukan. Saya tidak meminta yang sulit dan berat. Saya hanya ingin putra kalian menjaga dan mengawasi keponakan saya, lalu melaporkannya pada saya," jelas pria itu.
"Harus sampai pindah sekolah?" tanya sang ibu.
"Iya. Anda tenang saja. Masalah biaya akan saya tanggung sampai putra anda naik ke kelas tiga. Setelah itu saya akan lepas tangan."
"Jadi tidak sampai lulus?"
Pria itu menaikkan sebelah alisnya karena terkejut dengan pertanyaan sang ayah. 'Kalian kira saya penyedia beasiswa?' batinnya.
Pria itu tersenyum lalu menggeleng. "Tidak. Saya hanya akan membayar biaya masuk dan biaya selama satu tahun di kelas dua. Sisanya kembali kepada kalian."
"Kalau gitu---"
"Mah, lagian sama aja, kan? Kalau pun nggak pindah, uang sekolah tetep berjalan," kata lelaki itu kemudian.
Sang ibu tak jadi protes, dan kembali membaca surat yang dipegang sang ayah. Bagi lelaki itu, perjanjian yang dibuat pria itu tak merugikannya. Kedua belah pihak sama untungnya.
"Baiklah, kami setuju untuk memindahkan putra kami," kata sang ayah. "Dan terima kasih karena sudah mau menanggung biaya masuknya."
"Baik. Terima kasih kembali," balas sang pria. "Sekarang, silakan ditanda tangani oleh Bapak dan kamu."
Lelaki itu mengangguk setuju, lalu menanda tangani surat perjanjian setelah sang ayah. Kesepakatan yang dibuat oleh pria itu memang tak sulit. Ia pun ingin menebus semua kesalahannya dengan menyetujui ini.
"Terima kasih. Silakan simpan satu surat ini. Jika putra anda melanggar perjanjian ini, saya tidak akan membiayainya lagi."
Kedua orang tua itu mengangguk setuju. Mereka tak punya pilihan selain menyetujui pria itu, karena sang anak sudah memaksa dan mengatakan jika dirinya berutang budi pada pria itu. Keduanya tak punya pilihan lain.
"Kalau begitu saya permisi."
Pria itu beranjak dan kemudian bersalaman dengan sepasang suami itu, kecuali dengan si lelaki yang akan mengantarnya keluar. Mereka sampai di depan rumah, tepat di samping mobil sang pria.
"Om," panggil lelaki itu. "Boleh saya tau hubungan om sama dia apa? Kenapa Om bilang, kalau dia keponakan Om?"
Pria itu tak langsung menjawab, tetapi menatap lelaki itu tanpa ekspresi. "Saya akan kasih tau kamu, tapi dengan satu syarat," katanya.
"Syarat apa?"
"Jangan beritahu dia apa pun soal kamu dan saya. Apalagi tentang saya. Bisa?"
Lelaki itu menangguk cepat sembari berkata, "Bisa."
"Ikut saya sekarang."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Laras: Never Be Alone
Fiksi RemajaLahir sebagai anak yang tak diharapkan membuat Aras selalu mendapat perlakuan buruk dari sang bunda. Bahkan, saat kecil Aras harus kehilangan sang ayah. Dari dulu, Aras selalu sendiri karena semua orang menganggapnya hina. Bunda yang menjadi satu-s...