BAB 14
Sudah setengah hari Aras berada di tempat tongkrongan Babas dan kedua sahabatnya. Di sana, ia bertemu dengan beberapa teman Babas yang terkadang ikut mengatai Aras gila. Namun, ketika Aras bersama lelaki itu, mereka seolah tak merasa bersalah dan berdosa. Aras lebih menghargai teman Babas dari luar sekolah, ketimbang satu sekolah.
Meskipun Aras merasa senang, nyaman dan bahagia berada di sekitar Babas Cs, tetapi Aras tetap tenang dan hanya berbicara ketika ada yang bertanya. Selebihnya, ia hanya penyimak setia. Babas bahkan memberinya es batu untuk mengobati pipinya bekas tamparan Inez.
Aras yang keasikan mendengar gurauan dari Babas dan teman-teman dari luar sekolah, tak sadar jika ponselnya terus berbunyi. Hal itu diketahui oleh Nauval yang duduk di sampingnya.
"Ras, Hp lo dari tadi geter terus," kata Nauval.
Aras melihat tasnya, mengambil ponsel dan mengecek siapa yang meneleponnya. Seketika matanya terbelalak saat melihat ada banyak panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari sang bunda. Ia kemudian melihat pesan masuk yang membuatnya semakin tercengang.
[Lo di mana? Kenapa udah malem gini belum pulang? Jalan sama om-om lagi, ha?! Pulang atau nggak usah pulang aja selamanya!]
Arah baru sadar jika dirinya keasikan bermain padahal hari sudah gelap. Aras melihat jam di ponselnya dan ternyata sudah pukul tujuh lebih. Ia merutuki dirinya sendiri karena ceroboh.
Nauval yang sadar akan kegelisahan Aras, pun bertanya, "Lo kenapa, Ras?"
Aras tak menyahut. Dengan cepat ia memakai dan bangkit membuat semua orang menatapnya bingung. Ia merapikan roknya yang sedikit kusut, juga hoodie dan seragamnya, lalu berkata, "Gue duluan."
Babas berdiri lantas berteriak, "Ras, mau ke mana?"
Aras tak memedulikan teriakan Babas dan memilih berlari meninggalkan tongkrongan Babas Cs. Ia harus cepat ke jalan raya dan naik angkutan umum. Untungnya, ia masih punya uang saku dan tempatnya tak terlalu jauh.
"Sialan! Bisa diamuk bunda kalau gini. Lo bodoh banget, sih, Ras!" gerutunya.
***
Aras sampai di depan rumahnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka gerbang. Dengan tenang ia berjalan menuju teras. Saat sudah menadorong knop pintu, Aras dikejutkan oleh seorang wanita yang sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam.
Aras menatap bundanya tanpa ekspresi dan itu membuat Inez semakin kesal. Rambutnya ditarik oleh Inez, lalu diseretnya masuk. Meskipun sakit, tetapi ia mengikuti langkah Inez yang membawanya ke ruang tengah.
"Sakit, Bun!" pekik Aras.
Inez menghempas rambut Aras hingga menutup setengah wajah gadis itu. Namun, Aras masih dengan wajah tenangnya. Ia masih bisa mengendalikan emosinya.
"Dari mana aja, ha? Sekolah itu pulangnya bukan malam!" omel Inez.
"Aras abis---"
"Abis apa?" potong Inez. "Abis jalan-jalan sama om-om itu, ha?!"
Aras menutup mata saat Inez membentaknya tepat di depan wajah. Ia menghela napas pelang untuk meredam emosi. "Kenapa diem? Ucapan gue bener, kan?" tanyanya.
"Jawab!" bentaknya kemudian.
Aras menatap sang bunda lantas berkata, "Aras tadi abis---"
"Abis apa? Lo ngomong aja lama banget, sih!" potong Inez, lagi.
Aras mulai kesal. Napasnya sudah memburu karena sang bunda tak mau memberinya kesempatan berbicara. Bahkan, tak mau mendengar penjelasannya.
"Gimana Aras mau jawab kalau Bunda terus potong ucapan Aras?!" bentaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laras: Never Be Alone
Novela JuvenilLahir sebagai anak yang tak diharapkan membuat Aras selalu mendapat perlakuan buruk dari sang bunda. Bahkan, saat kecil Aras harus kehilangan sang ayah. Dari dulu, Aras selalu sendiri karena semua orang menganggapnya hina. Bunda yang menjadi satu-s...