Prologue

3.6K 207 20
                                    

Hujan deras tengah melanda kota Seoul, diiringi gelegar petir yang terus menyambar dengan hebat. Aura mencekam tercipta, ketegangan terjadi. Kegelapan malam tanpa sinar bulan dan bintang jelas terasa menegangkan. Pasokan oksigen terasa menipis, mencekik kerongkongan si lelaki yang masih menunggu suatu kabar.

Kediaman mewah milik Bae Donghae dilanda resah. Keturunan yang ditunggu-tunggu akan lahir sebagai penerus, serta pewaris semua yang Donghae milikki. Entah itu harta, maupun kekuasaan yang telah diraihnya. Donghae sudah mendedikasikan semua untuk anaknya, jika bayi itu lahir dengan jenis kelamin laki-laki.

Sebuah kamar sudah dipersiapkan menjadi tempat persalinan dilengkapi alat-alat kedokteran. Bahkan jika sesuatu hal buruk terjadi, operasi bedah pun bisa dilakukan tanpa pergi ke rumah sakit. Semuanya lengkap, dengan dokter dan perawatnya sekaligus.

Di depan kamar, Donghae berharap dengan rasa cemas. Semoga saja istri dan anaknya selamat tak kurang suatu apa pun. Berkali-kali Donghae menempelkan telinganya pada daun pintu guna mencari tahu apa yang terjadi dalam sana.

Suara Tiffany terdengar jelas tengah merintih kesakitan. Mendadak, Donghae teringat ibunya. Merasa bersalah, tak jarang dia bersikap kasar pada ibunya. Padahal, perjuangan seorang ibu itu tak mudah. Astaga, kenapa jadi melow begini.

"Duduklah dulu, istrimu akan baik-baik saja." Dengan santainya Yunho menyesap rokok yang terselip diantara jari tengah dan telunjuknya. Lama-lama dia jengah melihat Donghae mondar-mandir tak jelas.

Donghae menoleh, menautkan alisnya. "Jangan samakan aku denganmu. Aku masih punya belas kasihan, bagaimana aku bisa tenang saat istriku kesakitan berjuang sendirian!" ujarnya tajam.

Bola mata Yunho berotasi, malas sekali membahas hal seperti ini. Biarlah Donghae demikian, dia tak mau lagi menanggapi kelakuannya yang aneh itu. Cih, menyebalkan.

Sedangkan Donghae, tubuhnya menegang mendengar tangis bayi yang menggelegar bersahutan dengan petir yang menyambar. Rasa lega muncul, Donghae lebih tenang dan sangat bahagia mendengar tangisan itu. Dari tangis kuat bayinya, Donghae rasa dia punya anak laki-laki.

"Anakku lahir," gumamnya.

Tanpa pikir panjang, Donghae menerobos masuk ke dalam ruang persalinan. Dilihatnya, Tiffany masih terbaring lemas dengan peluh sebesar biji jagung. Bibir pucatnya mengulas senyuman haru. Donghae tak tahan, dia menghampirinya. Memeluk erat Tiffany yang kini menangis haru dipelukannya.

"Anak kita, ... anak kita sudah lahir," ujar Donghae seraya mengecup berkali-kali puncak kepala istrinya. Tak sadar, air matanya tumpah tanpa diminta.

Tiffany mengangguk lemah, tangannya memeluk erat tubuh Donghae. Tangis harunya semakin menjadi, dia bahagia mendapatkan buah hati yang lama dinantinya. Perjuangannya membuahkan hasil.

"Terima kasih," lirih Donghae.

Tiffany tak membalas perkataannya, justru meremat kuat kemeja putihnya dibagian punggung. Ringisan serta nafas memburu dari Tiffany terdengar di telinga Donghae. Pelukannya langsung terurai, Donghae menangkup wajah pucat istrinya.

"K-kau kenapa? Apa yang terjadi?!"

"S-sakit ... p-perutku sakit sekali ...."

Bola mata Donghae melebar, dia berteriak, "Dokter! Cepat tolong istriku!!"

Dokter yang sibuk mengurus bayi merah itu melangkah panik. Bayi merah, mungil itu diserahkan pada seorang perawat paruh baya disampingnya. Segera dokter wanita itu memerikasa keadaan Tiffany. Saat tahu apa yang terjadi, dokter tersebut semakin panik. Namun, mencoba untuk tetap tenang.

"Istrimu mengalami pendarahan, tuan. Keadaan rahimnya yang lemah memicu terjadinya pendarahan, terlebih nyonya Tiffany melahirkan secara normal," jelasnya.

THE SECRET PRINCESS [Surene]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang