#10 Daddy and son

608 76 11
                                    

Surya hampir tenggelam. Jingga kekuningan tersebar di belahan langit bagian barat. Langit sore selalu menjadi perpaduan indah birunya langit dan semburat jingga senja. Gradasi warna yang tercipta, seringkali menjadi insiprasi penikmat seni serta pengagum senja.

Namun, bagi Irene senja adalah gerbang terbuka bagi otaknya. Pikiran-pikiran random menghampirinya tiap kali Irene menghabiskan waktu bersama senja. Menurut otaknya, senja saat yang tepat ber-overthinking-ria.

Tidak ada hal yang benar-benar serius untuk dipikirkan sebenarnya. Irene bukan gadis problematik yang punya banyak masalah. Baik fisik, finansial maupun mental. Irene baru menyadari hidupnya semonoton itu tanpa masalah.

Ironis memang. 

"Tehnya sudah dingin, mau ku ganti?"

Kelopak mata Irene mengerjap. Ia lupa ada orang lain yang menemaninya duduk di balkon kamar menikmati teh cammomile dan senja.

"Aniya, sudah waktunya dia mendingin. Siapapun akan begitu jika terlalu sering diabaikan. Jangan dipaksa untuk tetap hangat, melelahkan." Irene tersenyum kecut, mendadak ucapannya seperti anak senja.

Wendy Son, asistennya mengangguk kaku. Hal seperti ini sudah sering terjadi. Tapi, ia masih mengalami culture shock jika Irene mengeluarkan kata-kata mutiaranya. Nadanya bak penyair yang frustasi karena masalah ekonomi.

"Kau mau Chanyeol bernasib sama seperti teh ini?"

"Ne?" Wendy mengangkat alis.

"Jangan terus mengabaikannya. Dia baik, tulus dan ... menyebalkan." Irene mendengus kecil, mengingat sisi buruk Chanyeol. "Sikap dingin manusia tidak bisa dihangatkan seperti teh ini. Sekalipun bisa, rasanya tak lagi sama."

"Lalu?"

"Kau masih bertanya?" Irene tertawa remeh. "Terima saja cintanya yang tulus itu. Kalian cocok menjadi pasangan."

Wajah Wendy memaling. "Kau serius? Manusia menyebalkan itu tidak cocok menjadi pasanganku. Bukannya saling mengerti, kita malah lebih sering adu mulut. Lebih cocok menjadi peserta debat tahunan."

Irene meringis menyadari faktanya memang begitu. "Tapi ... bagaimana jadinya Wendy tanpa Peterpan? Setidaknya kalian bisa jadi inspirasi nyata dongeng anak-anak."

"Aku tidak punya kewajiban mewujudkannya."

Kurva tipis tercipta di bibir Irene. Pikirnya dengan menjahili Wendy, isi otaknya akan teralihkan. Nyatanya sama saja, Irene masih saja memikirkan Suho. Menunggu kepulangan kekasihnya padahal Joohyun tahu Suho baru pulang besok malam.

Bukan sekali dua kali Suho pergi, bahkan sering. Tapi, baru kali ini Irene resah menunggu kepulangan Suho. Apa mungkin karena mereka sudah memastikan status, Irene jadi lebih protektif? Tahu akan begini, Irene sedikit menyesal mengungkapkannya. Cinta hanya menambah beban rasa.

"Psst, nona!" Wendy bangkit tiba-tiba. Tubuhnya condong ke telinga Irene. "Nyonya besar datang," bisiknya.

Sontak, Joohyun menoleh. Mendapati ibunya tengah melangkah anggun mendekatkannya sembari tersenyum manis. Dress rumahan sepanjang betis berwarna sage green seperti tengah diperagakan olehnya. Ditambah siraman sinar senja yang berlawanan dengan langkah sang ibu, membuatnya benar-benar seperti model catwalk.

"Kau, pergilah dulu." Titah Irene. Wendy mengangguk paham, lantas membungkuk padanya. Tak lupa juga membungkuk pada Tiffany yang tiba di tempat mereka.

Setelah Wendy pergi, Tiffany mengambil alih tempat duduk yang semula ditempati Wendy. Menyilangkan kakinya dengan pelan dan teratur. Senyum Tiffany tak luntur sedikitpun.

THE SECRET PRINCESS [Surene]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang