"Di Bawah Langit Merah Jambu (1980)"

366 60 43
                                    

(Bagian 1)

Pemandangan rimba hutan tropis, begitu indah dengan nuansa pedalaman. Bukit batu bertanah merah, seakan mewakili kekuatan dan semangat jiwa Borneo. Udara sejuk, langit nan cerah, serta air yang terlihat jernih pada anak sungai di kaki bukit. Sepertinya masih belum tercemar oleh modernisasi.

Di antara keindahan itu, di pertengahan belantara berpagarkan bukit. Suatu kehidupan dengan tradisi dan budaya yang terjaga, menyatu dalam perkampungan kecil yang damai dan tenang. Jauh dari perkotaan, jauh dari hiruk-pikuk dan benda-benda penyumbang polusi. Tempat yang nyaman untuk beberapa keluarga yang bermukim, menjalani kehidupan sebagai pecinta alam sejati, gemar bertani serta berburu. Begitulah kata pamanku, saat ia pernah menjelaskannya kepada orang-orang asing yang datang "dari langit".

Senja ini, cuaca terasa sejuk, apalagi saat subuh. Dinginnya luar biasa. Namun, matahari juga bisa sangat terik, jika tepat di pertengahan hari.
Rumahku yang terletak di area perbukitan dan tebing, sangatlah tenang dan damai. Ladang padi dan pepohonan karet terbentang rapi, dengan jarak tanam yang sesuai perhitungan kakek moyang. Itu sih kata halusku saja, mau dikata tidak rapi, nanti wajah nenek bisa cemberut. Soalnya, pohon getah yang tumbuh adalah hasil tanam dari almarhum kakek. Mungkin tidaklah begitu penting, jika harus membahas panjang lebar tentang jarak tanam yang kacau itu?

Di perkampunganku, selain sungai induk yang panjang meliuk, juga ada beberapa anak sungai yang mengitarinya, airnya masih segar dan jernih. Tidak sedikit, ikan yang berenang melawan arusnya. Ya..! Walau kadang, ada musimnya warga kampung meracuninya dengan tuba ( Tuba adalah sebutan untuk nama racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Biasa digunakan untuk meracun ikan).

Awan di langit masih menumpuk dengan warna merah jambunya, persis seperti kembang gula. Menikmati pemandangan sambil duduk di depan rumah, sangatlah menyenangkan. Dulu, karena saking asyiknya berkhayal. Nenek pernah melemparku dengan umbud ubi, soalnya nasi yang ku masak hampir gosong. Untungnya kejadian itu tidak terulang, sempat jadi bahan lelucon warga sekampung, khususnya teman-teman tetangga yang suka melebihkannya. Apa mau dikata, kurang lebih begitulah tentang nasib sial yang pernah ku alami.

Hmm..! Kelihatannya ada yang akan segera datang, terlihat dari kejauhan, sepertinya aku akan dihampiri senyuman lusuh. Selamat datang untuk paman dan nenek. Rupanya mereka telah selesai memotong rumput, di area ladang padi yang jaraknya masih dikira-kira. Mungkin sekitar? Satu jam dari kampung. Itu sih menurutku, lebih tepatnya bisa ditanya dengan pamanku, karena dia rajanya. "Raja bohong", itu kata sahabatku. Mungkin juga karena terlalu berlebihan, jarak dari kampung sampai ke pegunungan Muller. Dia bisa menjelaskan, lengkap dengan imajinasinya.

Hari ini aku tidak ikut mereka, kebetulan, tugasku adalah menjaga rumah, yang terkadang membuat ku protes, rumah tak bisa lari kenapa harus dijaga? Tetapi, karena hari ini adalah jatahku untuk menjaganya, plus memberi makan ternak. Aku rela dengan serela-relanya.

Sebenarnya, aku memiliki saudara kembar, namanya adalah Pepe. Orang-orang tetap saja ngotot dan mengklaim, bahwa kami berdua sangatlah mirip. Apakah cuma anggapan, atau hanya sekedar untuk mentertawakan kami? Aku hanya pasrah, meski sebenarnya kami sangatlah tidak serupa, walaupun lahirnya secara bersamaan. Ya..! Sudahlah, aku terpaksa menerimanya. Dari pada nanti dikatakan durhaka, yang tidak mengakui saudara kembarnya sendiri.

Kelihatannya, Pepe masih belum pulang? Biasanya jam 6 sore, ia sudah tiba di rumah. Dia menoreh pohon karet sehabis pulang sekolah, dan juga langsung mengambil getahnya dari beliwang (Beliwang adalah tempat menampung getah pohon karet) untuk dikumpulkan ke dalam cetakan yang sudah disediakan oleh paman. Memang pekerjaan yang ulet dan memerlukan kesabaran tingkat tinggi. Yang pasti, sesuai juga dengan hasilnya. Meskipun, hasil yang didapat tidaklah bertahan lama. Soalnya, jika ada upacara kematian, tabungan dari hasil menoreh tersebut, bisa lenyap begitu saja. Hanya untuk taruhan adu ayam. Ya..! Kalau aku sih, lebih baik ditabung untuk beli perlengkapan belajar. Hmm.. Setiap manusia rupanya memang punya cara berfikirnya sendiri. Itu membuktikan, kalau kami berdua, bukan berarti sepenuhnya sama.

the Son of Borneo [Selesai], (Pusing, Jangan BACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang