"Epidemi"

57 19 2
                                    


"Tik!! Bangun Tik!! Bangun!"

Tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup keras memanggil namaku. Sontak, menyadarkan dan sampai membuatku terkejut. Aku pun terbangun dari tempat pembaringan yang sempat terasa kurang nyaman.

Di manakah aku? Apa yang telah terjadi denganku? Fikirku dengan kebingungan, seraya mengamati sekitar yang kacau balau.

Terlihat, banyak orang yang terbaring di atas tanah, mereka hanya beralaskan tikar (Alas yang terbuat dari anyaman purun/tanaman lokal yang dikeringkan) dan kain seadanya. Aku pun sampai berjajal di antara mereka, karena saling berdempetan satu sama lain.

Sepertinya, mereka mengalami sakit yang cukup parah. Ada yang muntah sembarangan, bahkan ada yang terlihat pucat seperti ingin mati. Apa yang telah terjadi dengan penduduk kampung? Apa yang membuat mereka seperti ini? Tanyaku sangat heran.

"Tik! Aku butuh selimutmu. Aku sangat kedinginan." (Suara dari arah samping)

"I.. Iya." Sahutku terbata, tanpa berfikir apa yang ingin aku lakukan.

"Payu? Apa kamu memang benar Payu? Ada apa denganmu? Payu kan? Ucapku saat mulai tersadar dari kebingungan, sembari memberikan selimut, masih dalam ekspresi kebingungan ketika mengetahui jika yang meminjam selimutku adalah Payu.

"Wah.. Parah sekali, jika kamu sampai tidak mengenal diriku? Sepertinya, demammu sudah mulai mempengaruhi otakmu lagi!" Sahut Payu dengan tampang pucat pasinya.

"Demam?" Jawabku dengan perasaan bingung.

"Saat kamu tertidur, tadi kamu berkeringat dingin, bahkan sampai mengigau dan berteriak. Terpaksa, aku akhirnya membangunkan dan menyadarkanmu dari tidur nyenyakmu itu. Kamu bilang itu tidak demam? Suhu badanmu tadi juga sangat panas. Aku tidur di dekatmu Tik!" Ujar Payu dengan ekspresi serius, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.

Aku pun terdiam kaku. Aku semakin bingung dengan semuanya. Apakah aku sedang bermimpi buruk lagi? Apakah aku sudah gila? Tidak! Ini memang kenyataan yang aneh. Tetapi mengapa aku harus terbangun dengan situasi yang kacau ini. Aku sungguh tidak mengerti. Aku sungguh bingung. Tubuhku pun tidak terasa panas atau bahkan mengalami sakit, aku merasa sehat dan tidak seperti yang dibayangkan Payu. Tetapi, mengapa semua orang di sekitar seperti mengalami sakit dan demam yang parah, termasuk Payu yang ada di sampingku?

Sepengetahuanku, aku pergi ke tempat terlarang itu, lalu akhirnya tidak bisa apa-apa lagi karena kehabisan tenaga, dan kemudian tiba-tiba sudah terbangun disituasi aneh ini?


"Hmm.." fikirku keras.

Dimana paman, dimana nenek. Bagaimana keadaan mereka. Bagaimana juga keadaan Wunge. Apakah ia sudah pulih dari sakitnya?

"Tik!! Lebih baik, kamu tidur saja! Semakin kamu berfikir, maka penyakitmu akan semakin cepat membunuhmu! Kita hanya bisa pasrah dan menunggu waktu. Uhukk uhuk..." Ujar Payu tiba-tiba, seraya berbaring dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Dari ujung kaki sampai kepala.

"Tunggu dulu! Mati? Menunggu waktu? Maksudmu apa, dengan perkataanmu itu?" Sahutku seraya mencoba membangunkan Payu dengan menggoyangkan bahunya yang terasa sangat kurus.

Sontak, Payu pun muncul dari "persembunyiannya", sembari menyibak selimut lalu beranjak dari pembaringan dan menatap tajam ke arahku, walau dengan pandangan mata sayu yang dipaksakannya. Bibir pucat dan kering itu akhirnya mengucapkan kata-kata yang mungkin akan mengguncangkan batin.

"Sebenarnya aku tidak perlu lagi memberitahukanmu. Tapi apa boleh buat, jika kamu harus kehilangan ingatan oleh penyakit anehmu itu. Asal kau tahu, pamanmu sudah meninggal, peristiwa itu sudah terjadi beberapa minggu yang lalu. Sedangkan nenekmu, dia ada di seberang sungai di perkampungan kita. Dan Wunge, ia mengalami sakit parah, bahkan sampai buta, hal itu dikarenakan penyakit aneh yang menggerogoti tubuhnya. Badannya pun penuh bentol kecil berair, bahkan sampai wajahnya. Ritual pengobatan tidak mampu menyembuhkannya. Dan sekarang, Wunge hanya tinggal kenangan. Wunge telah meninggal tragis, ia menggantung lehernya dengan bahalai (Kain sarung bermotif tradisional) di tiang kamar. Hal itu karena stres berlebihan dan derita penyakit yang menyiksanya. Uhukkk..!!"

"Dan kita di sini, kita telah diasingkan dari warga kampung yang sehat. Kamu, saya dan semua orang yang ada di sekitar, semuanya terkena wabah penyakit menular yang mematikan. Apakah sekarang sudah jelas? Jika kamu sudah puas, saya ingin melanjutkan tidur, semoga kematian menghampiriku. Saya sudah tidak memiliki cukup tenaga. Saya benar-benar ingin cepat menyusul ayah dan ibu yang telah lebih dulu pergi meninggalkanku. Jadi, saya harap kamu memperkenankan saya untuk tertidur nyenyak di hari ini!" Ujar Payu dengan penjelasan panjang lebarnya, yang langsung menusuk jantung.

"O ya, ada yang tertinggal.. INGAT!!! Jangan sekali-kali berniat untuk menyeberangi sungai dan pergi ke kampung. Sebelum kamu menapaki tanah, tombak dan panah beracun telah siap menyambut kedatanganmu. Kita telah diasingkan dan tidak boleh untuk mendatangi pemukiman yang sehat. Itu sudah menjadi keputusan dari aturan mereka, yang dirumuskan oleh para tetua gila itu." Ujar Payu kembali menjelaskan dengan sangat serius, lalu merebahkan tubuhnya yang kurus dengan kulit kering keriput. Hampir menyerupai mayat.

"Yu.. Payu!! Jangan tidur dulu!" Ujarku berusaha membangunkannya kembali, seraya menggoyangkan kakinya dari balik selimut yang terasa basah.

"Akai..!!! Apalagi!!!" Teriak Payu, sontak keluar dari selimut, lalu menunjukkan pergelangan kakinya dari balik selimut.

"Akhhh!!!" Pekikku tertahan, saat melihat kakinya yang busuk bernanah.

"Ssst.. Akh!! Sudahku bilang jangan ganggu aku! Biarkan aku cepat "sehat" dengan kakiku ini. Kamu lihat kan! Luka kecilku yang dulu, sekarang sudah tampak membaik. Ha ha..!! Aku mohon, biarkan aku beristirahat dengan tenang." Ujar Payu dengan tampang putus tak ada harapan, kemudian kembali menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

the Son of Borneo [Selesai], (Pusing, Jangan BACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang