"Teori"

81 24 0
                                    


Kukuriuuuuk... (Suara ayam)

Hmm.. Kedengarannya memang sudah pagi, aku harus cepat bergegas. Aku tidak bisa larut, hanya terus memikirkan arti mimpi yang menakutkan itu. Sudahlah, biarkan berlalu seiring waktu. Pastinya, di pagi yang cerah, kehidupanku akan menjadi lebih baik.

Memang, tidak seperti biasa, detik ini aku akan memulainya dengan seorang diri. Tanpa mereka dan tanpa canda tawa. Aku sangat merindukannya. Gerut dan Pepe, nyatanya, sudah tidak ada lagi seperti sediakala. Ya.. Meski Pepe masih ada, tetapi dia sudah tidak seperti yang dulu, bahkan jika kumatnya kambuh, ia pasti mengamuk dan menjerit histeris. Sepertinya, hidup memang tidak selalu baik-baik saja, setiap hari, harus melihatnya terpasung, meringkih, bahkan meringkuk kesakitan bersama jiwa yang terganggu. Mau bagaimana lagi, serba salah. Dipasung salah, tidak dipasung pun salah.

Aku merasa sepi tanpa kehadiran mereka. Hmm.. Tetapi, aku juga tidak boleh larut dalam kesedihan. Aku harus tetap berjuang dan terus semangat. Itu pesan paman dan nenek.

"Semangat Tik..! Semangat..!" Gumamku sembari memotivasi diriku sendiri.

Baiklah, saatnya untuk menyegarkan otak dan segera menceburkan diri ke sungai Dahu.

Selang beberapa menit, sesudah mandi dan sarapan gaguduh (Gorengan buah cempedak, yang dicampur dengan tepung terigu dan gula), aku juga tidak lupa berpamitan dengan paman, nenek dan juga Pepe, menyempatkan diri untuk mengucapkan selamat pagi. Minimal, bisa memberikan penghiburan untuk Pepe.

Setelah berpamitan, aku pun langsung bergegas pergi ke sekolah, menuruni anak tangga, lalu melompatinya, persis seperti gaya yang pernah Gerut peragakan. Siap sedia untuk melangkah, menuju hari baru yang berbeda.

Sembari beranjak dari arah rumah, aku pun terus melangkahkan kaki. Mengitari jalan setapak yang biasa aku lalui, saat-saat bersama Pepe dan Gerut. Lalu berlari dengan sekencang-kencangnya.

"Wue... Wueeeee..!!" (Suara ejekkan)

Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja terlintas suara yang sempat mengusik pendengaranku.

Hmm.. Rupanya, suara itu berasal dari semak-semak yang tidak jauh dari area belakangku. Saat aku menoleh ke arah tersebut dan memperhatikannya dengan seksama, sontak, sesosok manusia nampak berlari melintasi jalan. Tertangkap sekilas oleh pandangku, tidak salah lagi, jika itu adalah Cayu Dunia. Rupanya ia masih saja menghipnotis walau terlihat ketakuttan jika harus berpas-passan. Sungguh aneh, namun sangat mengesalkan. Tapi, biarlah. Aku rasa aku tidak perlu seperti dulu lagi. Membulinya sampai menangis sengsara. Hmm... Hal itu malah semakin mengungkit masa lalu, mengingatkan aku tentang mereka yang selalu ku rindu. Aku rasa mulai hari ini, aku tidak perlu mengusikknya lagi. Tegasku dalam hati yang baru.

"Wue.. wue..!! Anak siallll.!! Sebatang kara, seperti kera ditinggal induknya..!! Ha ha.. Dasar anak sialll..!!!" Teriak Cayu sembari menggoyangkan pinggulnya lalu menepuk pantatnya, sebagaimana seperti yang pernah Gerut peragakan.

"Awas kau anak adiau..!!" Teriakku sembari berbalik arah, lalu berlari cepat ke arahnya.

"Sial, ternyata anak itu sudah lebih dulu melarikan diri... Huhh.." Gerutuku, sembari berjongkok, perlahan mengatur pernapasan yang tak beraturan.

Hmm.. Untung keadaanku belum pulih seutuhnya, jika tidak, sudah aku tangkap dan tak ku beri ampun.

Sepertinya, aku harus "mencabut" kembali keputusanku. Awas kamu Cayu Dunia, wejangan Gerut untuk mengikat kakimu di pelapah rumbia, suatu saat akan aku kabulkan. Tunggu waktu yang tepat, gerutuku dalam hati teramat kesal, seraya melanjutkan perjalananku menuju sekolah.

Pada hari ini, kami kedatangan tamu, seorang relawan tua yang berasal dari luar Borneo. Dia akan mengajar tentang keyakinan dan kepercayaan kepada sang pencipta. Ya.. Begitulah kata pak guru berwajah kotak. Aku berharap, gaya bahasanya semoga tidak membuat kami terbahak-bahak. Bayangku, pada saat sudah mendekati halaman sekolah yang sekitar beberapa langkah lagi.

the Son of Borneo [Selesai], (Pusing, Jangan BACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang