"Pengorbanan"

57 17 2
                                    

Beberapa jam kemudian

"Payu! Woi... Cepat!!" Teriakku dari arah bawah rumah.

Tanpa berlama, Payu merespon cepat, keluar dari dalam rumah dan kemudian menuruni anak tangga dengan cepatnya.

"Aku kira tertidur." Ujar Payu setelah berhasil meloncat dari anak tangga ke dua dari bawah.

"Tidak mungkin, aku malah tidak sabar untuk cepat menjenguknya." Sahutku serius.

"Ya.. Kalau itu sudah tentu pasti, aku juga tahu jika ada yang "kasungu". He he" Ujar Payu lalu tersenyum licik.

"Ahh.. Jangan berfikir yang aneh. Kita kan cuma teman?" Sanggahku berwibawa.

"Iya iya.. Aku mengerti. Aku juga pernah merasa suka dengan lawan jenis. Itu normal. Ihikk." Celetuk Payu, lalu dengan tawa tertahan.

"Eh.. Tidak lama lagi kita akan segera sampai, ini kan jalannya?" Ujarku mengalihkan pembicaraan, sembari menunjuk jalan setapak yang dirintis.

"Ya.. Kemana lagi, jika bukan melewati jalan ini. Hmm." Sahut Payu sembari mengerutkan keningnya dan menggaruk pitaknya.

Beberapa menit kemudian.
Sebelum kami benar-benar sampai dan mendekati tujuan. Terlihat ada beberapa helai kain, yang terikat di antara beberapa batang pohon di sekitar rumah. Seolah-olah seperti suatu peringatan/pertanda, di mana kami tidak diperkenankan untuk melaluinya. Hmm.. Ada apa dengan Wunge? Aku dan Payu pun hanya terdiam dan saling menatap. Apakah ada ritual? Siapa yang sakit? Apakah sangat parah, sampai harus seperti ini? Mungkinkah si Wunge? Fikirku cemas dan bingung.

Rasa penasaran, akhirnya memaksa diriku untuk lancang, lalu melewatinya. Kebetulan sekali, tidak ada yang mengawasi. Fikirku gugup.

Aku pun langsung berjalan cepat menuju rumah Wunge. Sedangkan Payu, ia tidak berani, dan memilih untuk tetap tinggal, ia hanya berdiri menunggu di luar batas dari beberapa tanda yang terikat.

Setelah akhirnya tepat berada di depan rumah, sembari memperhatikan dan mendengarkan, sepertinya memang ada kegiatan dan musyawarah yang sedang berlangsung, kedengarannya tidak sedikit orang yang berkumpul. Semoga saja, bukan seperti yang aku khawatirkan. Fikirku cemas.

Tanpa fikir panjang, aku pun langsung menaiki anak tangga yang ada di depanku, anak tangga yang terbuat dari ulin yang ditabuk dengan sangat rapi sebagai tempat pijakannya.

Sesampainya di depan pintu. Sembari terus berharap diantara cemas dan khawatir. Semoga saja aku segera mendapatkan penjelasan dari semua kejanggalannya.

Namun, saat aku melalui pintu rumah dan berjalan santun di antara beberapa warga. Diluar dugaanku, ayah Wunge yang merupakan salah satu dari tetua kampung, langsung saja berdiri dari antara tamu yang sedang duduk bersila. Dengan tubuh gempal berhiaskan tato dan asesoris khas, rambut panjang berkuncir kuda. Keningnya berkerut di antara dahi lebar yang luas. Sontak, menunjukkan mimik sangarnya. Tiba-tiba saja memaki, bahkan langsung mengusirku untuk segera pergi.

"PERGIIII!!!!"

Aku sangat terkejut dan terdiam kaku. Namun, di antara sedih, terpukul dan ketakuttan. Tiba-tiba terlintas dipandanganku, salah satu dari kerumunan orang yang duduk bersila, senyuman licik dengan penuh kedengkian. Meratapi nasibku, seraya memainkan raut wajahnya yang seakan memojokkan. Tidak salah lagi, jika itu adalah Cayu Dunia, seolah "menghipnotis" di saat yang tidak tepat.

Sepertinya, dengan malapetaka yang ku alami ini, ia tidak perlu bersusah payah. Adalah suatu keuntungan, tanpa harus membalas dengan perlawanan yang tak pernah berarti.

"Kenapa kamu ke sini!" Tegurnya dengan intonasi nyaring.

"Ma.. maaf! Saya cuma ingin menjenguk Wunge." Sahutku pelan dengan bergetar tertatih.

the Son of Borneo [Selesai], (Pusing, Jangan BACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang