"Nama"

181 45 13
                                    


"Hari ini, ceritaku kembali dimulai. Aku tidak pernah menyangka, jika hari-hari yang akan datang, tercipta pengalaman yang tak terlupakan." Itu adalah syair pamanku, saat ia sedang bernyanyi dengan alunan kecapi.

Nama lengkapku adalah Gabin, begitulah kedua almarhum ayah dan ibu menamaiku. Ayahku memang sudah lama meninggal sebelum aku dilahirkan. Nenek bilang, waktu itu ada kekuatan mistik yang menyerang kampung. Walaupun kata pak guru, kemungkinan hal itu dikarenakan oleh wabah penyakit. Banyak orang kampung yang menderita sakit bahkan meninggal, salah satu korbannya adalah ayahku. Sedihnya, pada waktu itu, saat ayah mulai menunjukkan gejala demam, tiba-tiba ia pun pergi meninggalkan ibu entah kemana. Menurut paman, ayahku melakukan semua itu agar ibu tidak tertular dan mengalami hal yang sama dengan yang dideritanya.

Sedangkan ibu, sewaktu itu ia sedang mengandung aku dan Pepe. Walau tak terjangkit wabah penyakit, tetapi ibu mengalami sakit hati yang akut, dan ia tidak berselera makan sama sekali. Kepergian ayahku, membuat ibu dirundung duka mendalam. Setelah melahirkan aku dan Pepe, kondisi ibu semakin lemah dan parah. Selang beberapa jam, setelah kelahiran aku lalu disusul beberapa menit oleh Pepe, ibu akhirnya menutup usia. Mengingat cerita paman dan nenek, kadang aku menangis seorang diri. Hmm.. Tapi aku harus tetap kuat dan semangat. Itu nasihat nenek.

Kembali tentang namaku. Namaku memang terdengar seperti nama kue. Dulu, kata paman, sewaktu aku dalam kandungan. Meskipun waktu itu ibu kehilangan selera makan, namun anehnya, ibu sempat mengidam kue/biskuit, yang merknya adalah Gabin Cantik Tjap Itik. Paman sempat kewalahan mencari, untungnya masih ada sisa satu bungkus di rumah Udi si tetangga terdekat. Sehingga, pada waktu itu, paman bernazar, bahwa anak yang lahir pertama kali dan selamat, akan diberi nama Gabin. Karena, cuma sekali itu saja, ibuku selera makannya tiba-tiba ada.

Nenek bilang, itu adalah permintaan bayi dalam kandungan. Jadi, untuk mengenang peristiwa bersejarah itu. Paman yang punya inisiatif terlebih dahulu, untuk mengusulkan kue Gabin menjadi nama formalku. Ya..! Begitulah ceritanya. Sebuah arti nama yang seharusnya aku harapkan tercipta dari orang tuaku, malah datang dari paman tercinta.

Sedangkan, nama Bintik yang digelarkan padaku, memiliki dua arti yang menjadi aib. Yang pertama, Pepe menggelarku Bintik karena sudah jelas, itu adalah singkatan dari Gabin Cantik Tjap Itik. Nah..! Yang kedua, Saat musim tato para tetua, aku dan Gerut ikut-ikutan membuat tato sederhana yang terbuat dari arang periuk, dicampurkan dengan larutan gula dan sedikit minyak kelapa. Ramuan kreasi tersebut, kami oleskan pada ujung duri limau. Karena Gerut kelihatannya tidak berani, akulah yang akhirnya menyombongkan diri. Kemudian aku tusuk perlahan di dagu kiri yang berpanu. Maunya sih, sekedar tanda perbedaan dengan saudaraku, karena orang-orang terkadang sulit mengenali perbedaan kami.

"Ini adalah tahi lalat yang gagah..!" Kataku pada Gerut, sambil memainkan turun naik kedua keningku. Diiringi darah yang "meluap" di antara titik hitam, sesekali air mata pun ikut menetes.

Namun, tiba-tiba Gerut malah tertawa dengan ekspresi berlebihan.

"Bin..! Kenapa harus bentuk titik? Aku lihat bukan seperti tahi lalat, itu malah mirip tai cicak..!" Ucapnya sembari tertawa terbahak-bahak, dengan gigi tonggos yang lancip lalu kemudian menggoyangkan perutnya yang buncit dekil.

Nah...! Karena itulah dia akhirnya memanggilku si Bintik. Gabin dengan bintik di dagu kiri, bagaikan tai cicak. Saat tato yang hitam bersanding dengan setitik panu berwarna putih. Gelar itu pun akhirnya menular pada beberapa orang. Termasuk paman dan nenek.

Aku juga tidak mau kalah, nama lengkapnya adalah Ruwyen. Aku anugerahkanlah gelar Gerut yang lebih aib. Kebetulan ada orang gila di ujung kampung, yang model rambutnya mirip dengan Ruwyen. Kata nenek sih, karena kerasukan ruh halus. Tapi kata guruku, gilanya itu disebabkan oleh malaria tropika. Ya..! Pokoknya orang gila..!

Nama orang gila itu adalah Gerut. Dia suka tersenyum kepada setiap warga kampung. Kadang bernyanyi, kadang juga menari tarian bulat. Kaki di kepala, tangan di tanah (Tarian tradisional, dayak Ma'anyan. Umumnya, dilakukan dengan atraksi melipat kedua kaki di balik tengkuk. Kedua tangan, sebagai penopang tubuhnya, sembari menggerakkan badan seiring alunan musik). Jodoh, ternyata senyum mereka juga identik, ditambah lagi kedua gigi wadiung yang sama-sama berebut maju dari hidung peseknya. Tidak hanya itu, Ruwyen dan Gerut juga sama-sama suka menari. Sungguh identik yang absolut. Itulah asal usul nama panggilan aku dan dia. Teman sejawat semenjak di ayunan.

Gerut adalah anak yatim piatu, ia sama seperti aku. Jika aku bersama dengan paman dan nenek, sedangkan ia tinggal berdua bersama buyutnya. Ia sangat perhatian dengan buyutnya, dan selalu merawatnya dengan penuh kasih sayang. Memang, hidup tidak selamanya abadi, meski buyutnya terkenal memiliki kesaktian ilmu tahan gantal (Ilmu kebal dari benda tajam, sehingga orang tersebut tidak bisa dilukai) dan pambarat bumi (Hanya dengan sentuhan jari, orang yang disentuh bagai terkena pukulan keras mematikan, dihantam sesuatu yang sangat berat dan besar seperti bumi). Namun, dua bulan yang lalu, mau tidak mau, nasib berbicara lain, Gerut harus merelakan kepergian buyut tersayang ke alam baka.

Sampai sekarang, kelihatannya dia masih menyimpan duka lara. Gerut memang tinggal bersebelahan dengan kami, tapi sepenuhnya telah menjadi perhatian dan tanggung jawab dari paman dan nenek. Ya..! Hal itu jugalah yang membuatku kadang kasihan dan bersimpati.

the Son of Borneo [Selesai], (Pusing, Jangan BACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang