"Tanda"

79 25 0
                                    


(Beberapa minggu kemudian)

Tiba-tiba saja, aku terbangun dari tidurku. Sambil mengusap kedua mata dengan jari telunjuk, penglihatanku perlahan tampak jelas. Sembari merapikan posisi bantal yang sempat tergeser di samping kepala, dan kembali membaringkan tubuhku pada tempat yang empuk. Apakah ada yang membangunkanku, sehingga di tengah malam ini, mendadak terjaga dari tidur nyenyakku? "Huahayamm.." Fikirku, seraya menguap karena masih dalam keadaan kantuk.

Pada saat itu juga, sontak muncul kilauan kilat, persis seperti cahaya kamera milik orang asing, saat mereka mengabadikan aktivitas di depan sekolah.

"Darrr...!!" Dentuman tiba-tiba menyambar, tanpa permisi sedikit pun.

Sungguh terkejut dibuatnya, aliran darah seakan-akan menanjak ke ubun-ubun. Suaranya mirip seperti drum para pedagang, yang digelindingkan dari kapal ke tepian sungai Dahu. Sesekali, nampak cahaya kilat yang beriring melengkapinya, dan suara gerimis hujan yang jatuh di atas atap, seperti dekat di atas kepala. Mungkin, rintiknya hampir menyerupai biji jagung, walau masih terdengar jarang dan belum lebat. Sehingga, saat jatuh dan mengenai atap, suaranya pun cukup keras.

Hmm.. Sepertinya malam ini akan ditimpa hujan deras, semoga saja, jangan sampai terus menerus hingga pagi. Besok kan aku harus pergi sekolah, harapku cemas.

Setelah itu, aku pun kembali melanjutkan petiduranku, sambil merapikan posisi selimut yang menutupi sebagian badan. Tidak lama kemudian, aku langsung berkelumun dalam selimut dekilku.

Di tengah-tengah posisi nyamanku. Hembusan angin rasanya mulai terbawa sampai ke ruang kamar, cahaya lampu seolah-olah sedang "menari". Suhu ruangan semakin dingin, selimut ini pun, hampir tidak memiliki fungsi.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba saja perutku terasa mulas. Sepertinya, aku tidak mampu menahannya lagi. Mau tidak mau, akhirnya aku beranjak dari pembaringan, kemudian bergegas menghampiri pelita (lampu yang terbuat dari bambu, dengan sumbu yang terbuat dari getah khusus) yang diletakkan pada dinding kamar, dengan posisi terkait pada tempatnya.

Sambil membawa lampu, sembari menuruni anak tangga dan pergi ke area belakang betang. Tidak pakai lama, di antara semak-semak, aku langsung menggali tanah yang basah dan becek, dengan mandauku. Setelah selesai, aku pun langsung "membombardirnya".

Untung hanya gerimis dan belum terlalu lebat. Sambil memegang pelapah daun pisang sebagai peteduhan, aku juga melengkapinya dengan sedikit siulan.

"Wiuw wiuw wuwh." Siulku sembari berjongkok, dengan badan bergetar karena saking dinginnya.

Tidak lama kemudian, pada saat aku sedang menikmati proses "pembuangannya", tiba-tiba saja terdengar, suara tangisan dari arah samping betang. Sangat pelan sekali, sekilas, suara tersebut kedengarannya tidak terlalu asing bagiku. Sepertinya, suara itu berasal dari tempat Pepe dipasung, dan kemungkinan sekali, jika dialah yang sedang menangis.

Hal tersebut sungguh membuat aku menjadi penasaran. Ada apa dengannya? Mengapa ia menangis? Tanyaku dalam hati.

Aku pun cepat-cepat menyelesaikan "meditasi" ku. Cukup ranting dan dedaunan sebagai pencucinya, lalu langsung menuju tempat suara itu berasal, yang tidak jauh berada dari posisi buang hajat.

Lampu pelita yang sambil ku pegang pada tangan kanan, sesekali hampir padam karena hembusan angin yang kadang-kadang mendadak kencang, namun aku tetap berusaha untuk terus menjaga nyalanya, dan sambil menghalanginya dengan menggunakan telapak tangan kiri. Aku pun terus berjalan pelan, dengan sangat hati-hati.

Sesampainya di depan pintu, tempat di mana Pepe sedang terpasung. Anehnya, aku tidak mendengar lagi adanya tangisan itu. Ketika aku sudah berada dekat pada sumbernya, suara tersebut seakan-akan mendadak berhenti begitu saja. Hal ini sungguh membuat ku semakin penasaran. Aku sangat ingin mengetahui bagaimana keadaan Pepe, dan apa yang sedang terjadi padanya? Fikirku. Sembari memperhatikan dengan seksama.

the Son of Borneo [Selesai], (Pusing, Jangan BACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang