Rena(Tiga puluh Empat)

76 8 0
                                    

Rena berjalan menuruni anak tangga dengan lesu. Dirinya masih merasakan gelisah sejak 4 jam yang lalu. Rena duduk di tangga terakhir lantai 2. Dia menatap jam tangannya yang menunjukan pukul 15:10 wib.

“Ren,” ucap seorang perempuan menepuk pundak Rena.

Rena melihat ke sampingnya. Dia menengadahkan kepalanya dan melihat Lina yang tersenyum ke arahnya.

“Kenapa? lagi ada masalah?” tanya Lina yang ikut duduk di tangga di samping Rena.

Rena tersenyum sendu,“banyak, Lin. Rasanya gue gak kuat buat nerima nya.”

“Gak ada hal yang terasa berat jika lo menerimanya dengan ikhlas. Gue tahu lo sejak kelas sepuluh dan lo mungkin tahu gue sejak pertemuan kita di uks 'kan? Gue sering lihat lo dan gue tahu kalau lo orangnya gak mudah nyerah. Lo tangguh dan lo bisa berpikir dewasa disaat masalah tiba, lo itu terlalu sempurna untuk tatanan hidup manusia dan mungkin Tuhan ingin meguji lo sekarang ini. Tapi, tetaplah tegar Ren, jangan megeluh.”

Rena menatap Lina dengan mata berkaca-kaca. Dia memeluk Lina dengan erat berterima kasih dengan suara lirih menahan isak tangis yang sudah tak bisa ditahan lagi. Lina tersenyum dan mengusap-usap punggung Rena dengan lembut.

“Martin lagi ketemu bokap lo di luar,” bisik Lina yang mampu mebuat Rena menjerit kaget.

“Telinga gue,” pekik Lina merasakan sakit di telinganya karena mendengar teriakan nyaring Rena yang kini sudah melepas dekapannya dan menatap Lina dengan tak enak hati.

“Sorry, gak sengaja, sumpah.”

Lina menganggukan kepalanya sambil mengusap-usap telinganya yang masih terasa sakit. Dia lalu bangkit dari duduknya dan mengulurka tangannya di hadapan Rena.

“Ayo, gue tadi disuruh Martin buat manggil lo dan ketemu bokap lo, kata-kata yang tadi juga rangkaiannya Martin. Gue cuman hafalin aja yang udah ditulis Martin di kertas kecil,” Rena membelalakan matanya tak percaya.

“Masa sih Martin sampai segitunya sama gue?” ujarnRena dengan nada tanya yang membuat Lina tersenyum.

“Ren, Martin itu bukan hanya sekedar temen Smp gue, dia juga sepupu gue. Ya kali gue bohong tentang dia, buat apa?”

Rena menatap Lina tak percaya. Apakah ada sebuah hal lagi yang masih tak ia ketahui tentang teman-teman dekatnya? Ah Rena jadi mengingat Rocky, kemana dia?

“Ayo, lo gak kangen sama bokap lo? Gue tahu kalau dia baru pulang dari Kalimantan tadi pagi, kan?”

“Kok lo tahu?” tanya Rena penasaran kenapa Lina bisa tahu tentang keluarganya.

“Lo emangnya gak tahu? Martin selalu ke rumah lo setiap pagi buat nganterin makanan dan silaturahmi ke rumah lo atau nemenin bokap lo saat bokap lo pulang pas kemarin-kemarin sebelum bokap lo berangkat lagi.”

Sumpah. Rena tak mengetahui tentang segala hal yang menyangkut dengan keluarga dan bahkan hidupnya sendiri. Rena segera menarik Lina dan berlari ke luar gerbang mencari Papanya.

Rena segera saja melepaskan Lina dan berlari lebih kencang saat melihat Papanya di dekat pohon sambil mengobrol dengan seorang pria. Tentu saja Martin.

Rena langsung berteriak dan memeluk Papanya dengan erat. Papa Rena tertawa melihat tingkah anak semata wayangnya yang tanpa malu memeluknya manja di lingkungan sekolah yang begitu besar.

Lina menatap anak dan ayah itu dengan haru. Dia jadi rindu Papanya yang mungkin masih berada di kantor bekerja untuk kehidupannya, Mama dan juga adik-adiknya. Lina menoleh ke arah Martin yang terkekeh.

Martin lalu merangkul Lina, sepupunya yang selalu menjadi tempat ia berkeluh kesah dan meminta pendapat perihal cinta atau sekedar meminta kritik tentang video nya sebelum dikirimkan ke Rena.

Rena dan Papanya pamit untuk pulang yang diangguki Martin dan Lina. Martin dan Lina menyalami Papa Rena dan tersenyum sopan.

“Papa pulang jam berapa?” tanya Rena saat mereka di perjalan pulang.

“Tadi jam sepuluhan, kenapa hmm, anak Papa kok terlihat lagi cemas?” tanya Papa Rena

“Pa, olimpiade Rena ternyata hari jum'at. Rena takut Pa, Rena takut kalah dan ngecewain banyak orang.” Rena berkata jujur dengan apa yang sedang ia rasakan saat ini.

Apakah ini tidak akan membebani Papanya yang baru saja pulang dan mungkin saja masih merasakan kelelahan? Rena menatap Papanya yang tersenyum menenangkan.

Papa Rena menatap Rena dengan penuh kasih sayang,“Bukankah Rena tahu bahwa menang kalah itu sudah biasa? Jangan risau, berdoalah kepada Allah. Semoga Allah memberikan ketenangan pada Rena.”

Entah mengapa, Rena justru merasa takut akan sebuah kehilangan yang memilukan. Rena justru takut bahwa semuanya hanya angan dalam harapan yang tembus pandang tanpa bisa ia genggam. Rena tersenyum dalam suasana hati yanhatak merasa tenang.

“Nanti kita pergi ke mall jalan-jalan, mau?” ajak Papa Rena karena masih melihat raut wajah cemas putrinya.

Rena tersenyum dan mengangguk semangat. Lumayan nyari cogan di mall.

°°°°° 

Rena dan keluarganya sedang berada di mall berbelanja pakaian. Rena melirik ke kanan-kiri nya melihat sekitar yang ramai membeli pakaian meski tak seramai di pasar tradisional. Rena tersenyum melihat mamanya yang sejak tadi bersama Papanya bergandengan tangan begitupun dengan Kakek dan Neneknya. Mustahil jika Rena tak diolok-olok dahulu ketika awal dan sebelum berangkat ke mall karena kenyataanya mulai dari rumah pun ia sudah digoda apalagi saat pertama kali masuk ke mall banyak sekali yang datang bersama pasangan mereka. Menyebalkan memang.

“Ren!” panggil seseorang di belakang Rena. Rena membalikan badannya dan melihat Lina yang sedang berjalan bersama Martin serta satu lagi pria yang tak ia ketahui siapa namanya.

“Eh? Kalian kok bisa di sini?” tanya Rena karena bisa kebetulan sekali bertemu di tempat yang sama padahal mereka tak saling berkabar untuk janjian.

“Bisa dong. Kita kan naik motor,” jawab Lina berkelakar.

“Hahaha garing banget, Na,” ucap Martin meledek dan dibalas cubitan oleh Lina.

Rena hanya tersenyum melihatnya. Martin berdiri di samping Rena dan menggenggam jemari Rena dengan hangat. Rena melirik ke arah Martin dengan tersipu. Dia tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya malam ini. Apalagi ia bisa bersama dengan orang-orang terkasih di malam penuh bintang dengan bulan sabit yang begitu menawan.

“Ya udah, kita duluan ya mau pergi ke tempat lain. Ke sini cuman nganterin kunyuk satu doang buat ketemu lo. Katanya malu kalau sendirian, takut gemetaran pas ketemu keluarga calon istri,” ucap Lina menggoda Martin.

Martin memelototkan matanya tajam yang tentu saja ditertawakan oleh Rena, Lina dan cowok di samping Lina. Lina pergi, namun Mereka masih berpegangan tangan dengan nyaman.

°°°°°

Rena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang