Rena(Dua puluh lima)

52 8 0
                                    

"Sama-sama," ucap Martin sambil menaik-turunkan alisnya menggoda.

"Dih, Najis!" ucap Rena dengan kesal.

"Hahaha," Martin tertawa lalu mengacak-acak rambut Rena dengan lembut.

"Issh! rambut gue!" kesal Rena.

"GILA! Gue pergi ke lapangan duluan aja deh, males banget jadi nyamuk di sini," ujar Disya berlalu pergi bersama teman sebangkunya. Bisa dikatakan sahabat Disya.

"Nyamuk apaan!" gerutu Rena sambil melepaskan tangan Martin dari kepalanya.

"Sya, ayo ke lapangan, upacara," ucap Rena menarik paksa Teesya.

"Salah tingkah, beb," bisik Teesya tepat di telinga Rena.

"Gak!"

Teesya tertawa mendengarnya. Mereka lalu pergi ke lapangan menuruni tangga. Kelakuan Teesya yang justru malah suka lewat tangga bukannya naik lift. Tapi, memang bener sih, lebih baik lewat tangga daripada naik lift. Soalnya kalau naik lift harus nunggu dulu apalagi banyak senior mereka yang sering naik lift. Ya, mereka tahu dirilah ya buat ngalah dibanding buat masalah karena debat sama kakak kelas. Males banget ah.

"Sya, lo kok kayaknya deket banget ya sama si anak baru," ucap Rena.

"Gak," ucap Teesya singkat.

"Cie-cieee Teesya udah gede. Udah tahu jatuh cinta ihiwww," ujar Rena menggoda Teesya.

"Dari dulu juga gue tahu kali cinta. Cinta yang tulus sama cinta yang gak tulus juga udah pernah gue alamin, Ren," ujar Teesya dengan dingin.

"Sorry, gue gak maksud," ucap Rena merasa bersalah. Dia menepuk-nepuk bibirnya karena gak bisa menjaga bicaranya.

"Bibir gue ngucapnya," gerutu Rena pada dirinya sendiri.

"Santai aja kali," ucap Teesya sambil tertawa.

Rena merangkul Teesya sambil berjinjit. Salahkan Teesya yang memiliki postur tubuh terlalu tinggi!

"Yok kelapangan," ucap Rena dan menarik Teesya cepat.

"Pundak gue!" Pekik Teesya yang malah membuat Rena tertawa.

Rena dan Teesya sudah sampai di lapangan, mereka baris bersebelahan karena memang satu kelas itu dua baris-dua baris dengan laki-laki di depan dan perempuan di belakang. Alasannya simpel saja, agar laki-laki gak main-main terus di belakang. Meskipun di depan tetep aja ngerusuh dan beberapa laki-laki juga tetep aja baris di belakang.

Rena dan Teesya berada dibarisan pertama Putri. Di belakangnya ada Disya dengan sahabatnya. Rena baris dengan rapi dan juga memakai atribut lengkap dari sepatu hitam sampai memakai topi dengan benar.

Upacara pun di mulai, Rena terdiam menundukan kepalanya karena percuma juga, dirinya kurang tinggi hingga tak bisa melihat para petugas upacara siapa saja dan baris berbaris mengibarkan bendera pun tak bisa ia lihat.

"Sssh," ringis Rena sangat pelan.

"Kenapa?" Rena mendongakkan kepalanya, dia melihat wajah Martin yang sedang menatapnya dengan teduh. Rena menggelengkan kepalanya menandakan gak apa-apa.

"Dasar cewek!" kesal Martin dan langsung menggendong Rena ke belakang. Menemui petugas PMR untuk mengantarnya ke ruang UKS.

"Eh?" Teesya menatap Rena dan Martin yang sudah tak terlihat. Dia lalu berbalik menatap Disya dengan tatapan bertanya.

"Sakit dan masalah hati," ucap Disya dengan pelan.

Teesya mengangguk paham. Dia kembali mengikuti pelaksanaan upacara dengan tenang, meskipun kadang ngobrol sama perempuan di sebelahnya.

Teesya berjengit kaget saat ada seseorang yang menepuknya,"Lo!" pekik Teesya saat tahu siapa yang telah menepuknya.

°°°°°

"Gue gak apa-apa, Tin!" kesal Rena karena Martin keukeuh menyuruhnya memakan lontong yang disediakan oleh petugas UKS. Khusus di hari senin karena kebanyakan orang yang pingsan ataupun pusing-pusing itu akibat gak sarapan.

"Makan dulu, Ren," ucap Martin dengan sabar.

"Gue udah sarapan, Martin Adrian Subagja Maheswara!" ucap Rena dengan kesal.

"Buseeet nama gue kenapa jadi panjang banget?"

"Bodo amat, Tin. Bodo am---,"

"Am nyam-nyam-nyam," ucap Martin setelah berhasil memasukkan satu sendok lontong bumbu kacang ke mulut Rena.

Rena melotot kaget dengan mulut penuh makanan. Dia menatap Martin kesal yang sedang temsedangenatap ke arahnya.

Rena akhirnya mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Dia mengunyahnya hingga lembut lalu menelannya.

"Pulang lagi sana ke lapangan," ucap Rena.

"Iya, nanti," ucap Martin dengan santainya.

"Gue bilangin Pak Wicak kalau Lo gak mau upacara," ucap Rena mengancam Martin.

"Gini, nih kalau punya temen deket sama guru. Ancamannya 'gue bilangin sama guru'," ucap Martin mencibir Rena.

"Dih!" ucap Rena.

"Ya udah, gue mau upacara dulu, selesai upacara gue ke sini," ucap Martin.

"Gak usah, tadi gue disuruh ke ruangannya Pak Wicak," ucap Rena.

"Oh oke, nanti gue suruh temen gue, anak pmr buat nganterin lo," ucap Martin.

"Gak usah!"

"Ijah, nanti anterin temen gue ke ruangannya Pak Wicak," ucap Martin pada salah seorang perempuan dekat Rena.

"Nama gue Lina, Marudin!" ucap perempuan yang diketahui petugas PMR itu dengan kesal. Rena tertawa dibuatnya.

Martin menatap Rena dengan senyum manisnya. Dia lalu pergi dari UKS setelah mengacak-acak rambut Rena dan menyuruh perempuan bernama Lina itu untuk mengantar Rena ke ruangannya Pak Wicak setelah selesai upacara.

°°°°°

Rena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang