Part VII

3 3 0
                                    

Happy reading!
~

Pukul 11 lebih aku turun dari bis di depan kantor pos. Tanganku merogoh tas dan mengambil ponsel. Mencoba menghubungi orang yang kerap kali mama mintai pertolongan, orang yang mama percaya, orang yang sudah dianggap saudara oleh keluargaku, dan juga orang yang pemilik namanya kerap kali dijodoh-jodohkan denganku. Sembari berjalan menuju arah barat, aku mencoba menghubungi ponsel lelaki yang biasa mama panggil Pak Ilyas. Hm, padahal om-om yang diumurnya menginjak kepala tiga tapi belum menikah karena sempat ditolak dan kesulitan jatuh cinta.

Ponselku sudah hampir mati, tapi panggilanku terus-menerus tak terjawab. Akhirnya dengan tak sabaran aku memilih untuk mengojek. Sejujurnya jarak antara kantor pos dan rumah sakit tidaklah jauh, mungkin kira-kira ada 1km. Aku takan merasa lelah jika harus berjalan menuju tempat itu.

Sayangnya, aku sudah lelah berpanas-panasan dan sudah enggan berdiri lebih lama di bawah sinar matahari yang menyengat dengan begitu panasnya. Membuatku sampai kegerahan dan mengipasi leherku.

Sampai di RS, setelah kubayar ongkos ojeknya, aku akhirnya kembali bingung karena aku tak tahu di ruang mana mama di rawat. Mana aku tak tahu dimana letak meja resepsionisnya. Aish, ini adalah kali pertamaku masuk ke rumah sakit yang belum lama ini kepemilikannya di ambil oleh salah satu ortom di Indonesia.

Aku menelpon Pak Ilyas sekali lagi dan untungnya panggilanku kali ini dijawab.

"Pak, nama ruangannya apa?" tanyaku tanpa mengucap salam pembuka terlenih dahulu. Setelah diberitahu nama ruangannya, aku langsung menanyakan keberadaan ruangan tersebut.

Aku berjalan menelusuri koridor lantai satu rumah sakit. Kemudian brbelok menuju tangga ke lantai dua. Langkahku terhenti.
Ar: Aku mengusap kasar sisa-sisa air mataku. Kukeluarkan kaca dari dalam ransel dan membersihkan wajahku. Mama tak boleh melihat sisi kacauku. Aku tak ingin menambah beban pikiran mama.
Ketika kurasa wajahku sudah kembali rapi, aku baru bisa melanjutkan langkahku. Menapaki satu persatu anak tangga dengan hati yang menangis karena terluka.

"Ruang marwah nomor dua," gumamku kembali mengulang letak ruangan dimana mama dirawat.

Mataku akhirnya menemukan papan yang tergantung dikusen pintu bertuliskan ruang marwah. Kulongokan kepala dan langsung kudapati mama yang tengah terbaring lemah dengan infus yang menancap di tangan kirinya. Papa duduk di sebelah mama, keduanya langsung dapat melihatku, karena letak tempat tidur mama berada di dekat pintu.

Aku melangkah masuk menggantikan tempat papa. Kuletakkan tas dan meraih jemari mama. Aku tak mengucap apapun, hanya tersenyum tipis dan mencoba mati-matian menahan air mataku agar tak lolos.

Mama tersenyum lemah. Ia mengusap puncak kepalaku dengan tangan kanannya kemudian bertanya, "Naik apa ke sini?"

"Bis. Turun di depan kantor pos terus naik ojek ke rs," jawabku pelan.

Mama menganggukan kepalanya. "Tolong jagain adik-adikmu, ya," pesannya.

"Ya, Ma. Mama sudah makan?" tanyaku.

"Belum, sebentar lagi baru diantar mungkin," jawab Mama. Kemudian ia memintaku untuk bercerita tentang kuliahku.

Pelan-pelan, aku menjelaskan tentang kuliahku yang kini harus dilaksankan secara daring. Mama dengan sabar mendengar ceritaku. Meski kadang aku menangkap raut wajahnya yang lelah dan tampak pusing. Aku hanya memberi tahu mama bagian-bagian cerita yang baik. Aku tak ingin dia memikirkan bagaimana kuliahku. Yang terpenting, mama harus sembuh.

"Nyonya Rosie, ini makan siangnya." Seorang perawat masuk ke dalam ruangan dan memberikan jatah makan siang untuk Mama. Aku menerimanya dan membantu mempersiapkan makan siang.

"Aku aja yang suapin mama." Aku mengambil alih sendok yang sudah dipegang mama. Mama terlihat ingin menolak namun aku menatapnya tak suka. Kulihat, mama menurut. Kali ini saja, aku ingin jadi anak yang berguna untuk orang tuaku.

"Jangan jamurnya. Mama nggak suka."

Aku menatap mama sekilas dan kembali menyuapinya dengan sup dan nasi hangat. Sup yang isinya wortel dan jamur, tapi yang mama habiskan hanya wortel dan kuah dari supnya. Nasi yang berbentung setengah bola tadi habis separuh. Aku menghela napas ketika mama menolak makan buah pisang yang memang diberikan untuk pencuci mulut.

Aku sudah menyiapkan teh manis untuk mama minum setelah makan. Wanita yang melahirkanku itu kini tampak kurus dibanding dengan saat terakhir kali aku melihatnya. Aku menyempatkan diri untuk membuka ponsel demi meminta bantuan pada temanku agar mau mendonorkan jawaban tugasnya. Malam ini deadline pengumpulan tugas statistika dasar. Aku sama sekali belum menemukan jawaban atas 4 pertanyaan yang rumit.

Aku membalas satu persatu pesan yang masuk, termasuk pesan dari Panggih. Beberapa orang yang mengirimiku pesan adalah mereka yang me-reply story-ku. Aku memang sempat mengunggah foto jalanan yang berada di luar terminal sebelum berangkat tadi.

Aku menatap pesannya lama. Sampai akhirnya aku mengalihkan pandangan pada mama yang tiba-tiba mengusap lenganku. "Kenapa, Ma?" tanyaku sigap.

Mama menggeleng. "Serius sekali main hpnya," ujarnya.

Aku meringis kemudian menimbang-nimbang, apakah aku perlu memberitahu mama soal Panggih. Di satu sisi, baik mama maupun papa sudah terbiasa tahu tentang pemuda manapun yang dekat dengan putrinya. Di sisi lain, aku merasa diriku juga harus membatasi diri dengan kedua orang tuaku. Hm, apa aku beritahu saja? Lagipula dengan begini, aku jadi tidak terlihat seperti pembohong. Daripada nanti mama dan papa dengar ini dari orang lain tapi dengan versi yang berbeda dan kemungkinan akan menimbulkan salah paham. Jadi aku akan memberitahukannya saja.

"Ma," panggilku pelan.

Mama yang tengah menatap langit-langit ruangan mengalihkan tatapannya padaku dan bertanya lewat matanya.

Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Gugup menjalariku. "Aku diajak komitmen sama teman satu organisasiku," tuturku.

Mama terdiam cukup lama kemudian bertanya, "Apa yang dia cari?"

Aku menggigit bibir bawahku lembut. "Em, calon istri," jawabku dengan nada ragu.

Tapi selama ini, itulah yang kutangkap dari cara pemuda itu berbalas pesan denganku. Dari caranya menanyaiku tiap pagi tentang urusan dapur, caranya menanyaiku mengenai buku-buku yang kubaca dan juga keseharianku.

Ah, dua minggu berada di dekat pemuda itu sudah mampu membuatku mulai terbiasa. Ap kabar nanti diriku jika sudah terlanjur terbiasa dan tiba-tiba ditinggalkannya? Hus, aku tak ingin banyak membayangkan macam-macam. Hal-hal yang aku takutkan dari sebuah hubungan.

"Jangan dulu ya, Kak."

Pernyataan singkat itu membuatku kembali tersadar dari lamunan. Pernyataan yang berarti aku harus kembali mematahkan hati seorang lelaki. Lagi-lagi aku mengambil peran sebagai sosok perempuan jahat yang akan dicao sebagai perempuan yang sok jual mahal dan angkuh. Ah, biarlah jika harus seperti itu. Yang penting mama bahagia. Aku juga akan ikut bahagia.

Meski aku harus berlakon sebagai antagonis yang terlalu menjunjung tinggi kesendirian. Tapi mama punya tujuan yang baik. Ia melarang ini untuk kebaikanku. Agar aku tak terjerumus dan kembali mengulang masa lalu yang kelam seperti yang mama dulu pernah rasakan. Mama adalah pelindungku dan akan tetap begitu. Jadi, Ma, cepatlah pulih, aku rindu.

~to be continued~
Uploaded on 20 Agustus 2020

Kamu & Tugas Dari Semesta [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang